ROMEO
Bintang-bintang
di langit nampak suram, samar dibayangi cahaya bulan baru. Seperti gerhana di
pertengahan bulan oktober, masa hanya
akan mencatatnya, lalu akan ditinggalkan begitu saja.
Gambaran
hatinya seperti purnama yang ditelan seekor naga. Gerhana datang di saat
puncaknya untuk bercahaya. Pelan tapi pasti, cahayanya tertutupi rimbun
kegelapan dari warna yang lain, lalu sirna.
Kepakan
sayap kecil kelelawar yang kemudian hinggap di sebuah pohon terdengar menyatu
dengan suara angin.
Namanya
Nakajima Yuto. Baru saja dua puluh satu tahun Agustus lalu. Entah itu senang
atau sedih, melodinya harus selalu ceria. Debaran perasaan yang seperti gebukan
drum, bersemangat dan pantang menyerah. Tentu saja semburat merah di pipi pernah dirasakannya.
Indah
sekali bukan?
Dengan
tubuh mungil yang nyaris harus membuat Yuto selalu menunduk, mata mengerjap
cerah dan wajah yang ceria. Bagi Yuto, saat-saat seperti itu, rasanya seperti
melihat peri. Saat tubuh itu meliuk atau berputar, perasaannya menjadi
berdeburan.
Bibir
merah dengan senyum yang menawan. Perinya benar-benar rupa sempurna sebuah
keindahan yang manis.
Meskipun
terkadang seperti tidak memikirkan apa pun, berjalan lurus tanpa peduli harus
melompat atau pun berlari, Yuto selalu melihat ke arah perinya. Putaran waktu
seperti sebuah kejutan. Dan terkadang kejutan itu datang berurutan.
Apa
yang salah dari perasaannya?
Yuto
tidak pernah berdoa untuk bisa bertemu dengan perinya, tidak pernah memohon
untuk bisa jatuh cinta sedalam itu. Tidak pernah terbesit di benaknya bahwa
sang peri akan muncul di depannya, lantas membuatnya jatuh cinta. Jatuh dalam
cinta yang dalam.
Cinta
yang membuatnya bernafas dengan begitu bebas. Udara di sekitarnya menjadi
begitu segar. Bagian terbaik dari kehidupannya, ketika perinya datang
menghampirinya, bercanda dengannya, bermain dengannya. Ketika tangannya tanpa
sengaja bersentuhan dengan tangan itu, saat tanpa sadar matanya saling menatap
dengan mata itu.
Deburan
ombak yang direkamnya dalam ingatan, atau senyum itu yang diabadikannya lewat
kamera. Yuto ingin memeluk perinya dalam kehangatan. Bunga-bunga yang
bermekaran di musim semi, semuanya menjadi sama ketika ia jatuh cinta.
Bahkan di puncak musim dingin sekalipun,
bunga di hatinya mekar dengan sempurna.
Cintanya
sesempurna cahaya purnama di atas samudera. Bukankah melihatnya dari kapal
pesiar, diiringi musik yang romantis dan makan malam yang berkesan, semua itu
akan memberikan kenyamanan pada hati. Dengan semua bunga-bunga, dengan hidangan
yang ditata begitu apiknya, seharusnya perasaannya menjadi genap.
Tapi
tidak.
Senyuman
melengkung indah itu semakin datar lantas menghilang ketika Yuto menyatakan
perasaannya. Riak air yang tenang di permukaan tidak pernah menggambarkan apa
yang ada di dasarnya, seperti itulah penggambarannya.
Perinya
menatap tak percaya. Mata bening yang seakan mutiara coklat di bawah cahaya
bulan nampak hampa. Bibir kemerahan yang terkatub rapat, nafas yang tertahan
kebingungan, pipi yang memerah menahan degub jantung, angin bahkan tidak bisa
membawa peri itu padanya.
Yuto
ingin memberikan keyakinan itu, bahwa ia tidak akan pernah melangkah keluar
dari jalan yang dipilihnya. Yuto mencoba memberikan ketenangan itu, janji bahwa
perinya akan selalu aman di dalam hatinya. Tidak akan ada yang mengambil
tempatnya, sejak Yuto pertama kali melihatnya, sekarang dan seterusnya.
Baik
siang maupun malam, baik matahari terbit atau pun terbenam, Yuto akan selalu
memberikan cintanya secara utuh. Cintanya tidak akan menjadi kue yang terbagi.
“Tidak!
Itu tidak bisa! Tidak akan pernah bisa!” Tapi hanya itu jawabannya.
Seperti
yang telah dikatakan. Namanya Nakajima Yuto. Baru saja dua puluh satu tahun
Agustus lalu.
Perasaannya
seperti permukaan samudera yang dingin, dengan begitu banyak misteri berenang
di dalamnya. Di balik mata itu, ada seorang peri yang tengah menari dengan
lincahnya. Di balik bibir yang terkatup pucat itu ada gambaran seorang peri
yang mengajaknya tertawa. Di dalam hatinya, tidak ada gambaran yang bisa
dijelaskan.
Seperti
purnama yang menjadi gerhana, cintanya yang utuh mengikis gelap, namun gelap
justru menelannya. Pada akhirnya ia hilang, menjadi gerhana, di mana bumi akan
memisahkan bulan dari matahari.
Matanya
menatap kosong. Di luar sana, bintang-bintang berpendar samar. Menemani bulan
baru yang mungil.
“Namanya
Nakajima Yuto?” Sesosok dengan rambut dicat kecoklatan, mata yang begitu indah,
memandang iba.
“Hm,
baru saja masuk bulan lalu. Dia masih sangat muda, beberapa bulan lebih muda
darimu, Yamada!” Seseorang lain yang berdiri di sampingnya, mengenakan jas
putih yang khas ikut memandang ke arah yang sama, dengan tatapan yang tebih
wajar.
Di
hadapan jendela, sosok tinggi yang sedang mereka bicarakan berdiri mematung,
menatap ke langit luar. Tempat perinya sekarang menari.
“Haahh?
Kenapa dia harus berada di sini?” Yamada sedikit terkejut.
“Yang
jelas bukan untuk magang sepertimu, anak baru!” Jawaban itu membuat Yamada
mengulum senyumnya.
“Dia
baik-baik saja sebelumnya. Sulung dua bersaudara dengan kehidupan yang baik.
Tapi beberapa waktu lalu, orang yang dia sukai ditemukan sudah menjadi mayat di
apartemennya. Dia tidak pernah mengatakan apa pun, dan selama di sini juga
tidak menunjukkan tindakan yang membahayakan!”
Mendengar
penjelasan itu, Yamada sedikit tertengun. Apakah itu sejenis depresi?
“Hei,
ayo!” Sebuah teriakan mengingatkan Yamada bahwa ia sekarang sendirian di dalam
ruangan berteralis ini, sementara dokter yang membawanya berkeliling sudah
hampir menghilang di tikungan.
“Yah,
bagaimana bisa dia meninggalkanku seperti ini!” Yamada mengomel sambil berbalik,
mencoba menyusul.
Tapi
seseorang telah berdiri di belakangnya, menangkapnya seperti serangga di jaring
laba-laba. Matanya yang indah terbuka
lebar ketika tangan itu menariknya ke belakang, sementara mulutnya dibekap
dengan tangan yang lain.
Namanya
Nakajima Yuto. Tertulis begitu di note Yamada yang terjatuh di dekat pintu. Dan
dalam cintanya, Yuto tidak akan membiarkan perinya meninggalkannya lagi. Jika
Yuri memilih meminum anggur beracun ketika Yuto ingin memilikinya, maka kali
ini, peri yang indah ini akan bersamanya.
Yuto
akan membawakan hadiah untuk Yuri ketika mereka bertemu lagi nanti. Seorang
teman untuk saksi pernikahan mereka di surga!
END~
Waaaa
... saya menyelesaikan ini ini dengan cukup cepat ^_^ Saya harap tidak terlalu
mengecewakan ^_^
Apakah
ini bisa dimengerti? Di sini sedikit diceritakan mengenai kondisi psikis
seseorang. Perasaan suka yang besar kadang memiliki kecenderungan untuk
memiliki bagaimana pun caranya, bukankah seperti itu? Saya tidak bisa
menceritakannya dengan baik, jadi ... seperti itulah kira-kira.
Untuk
semua yang telah membaca, terimakasih banyak ^_^ Bagaimana pun, ini hanya
sebuah fanfiction, jadi, mohon tetap menganggapnya sebagai fanfiction saja ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar