Rain and Sun Flower
*Impian-impian
di toko bunga*
IV.
Tama (Tamamori Yuta, Miyata Toshiya,
Kis-my-ft2, Yaotome Hikaru)
Berdiri
dengan kokoh dan menatap angkuh. Wajahnya yang cantik dengan bibir yang
dimanyunkan sedikit, menunjukkan ketidaksukaannya pada orang yang ada di
depannya kini.
Bagi
Tama, kesialan terbesar dalam hidupnya adalah hidupnya sendiri.
Tama
sempurna. Begitu yang akan orang katakan. Lahir dalam keluarga yang akan
melimpahinya dengan harta, dididik penuh keanggunan yang menurutnya sekedar
omong kosng tentang sopan santun, kakak yang memanjakannya hingga ia nyaris
sesak nafas, kecantikan yang menyihir mata hingga orang-orang terus
memperhatikannya, dan semenjak setahun belakangan, orang bodoh yang
mengejar-ngejarnya seperti maling.
Bosan.
Tama bosan dengan hidupnya yang seperti cerita dongeng. Kakaknya memang
mengatakan bahwa Tama adalah putri dari negeri dongeng, tapi Tama ingin mencoba
hidup seperti dalam film action yang mendebarkan.
Hidupnya
berjalan seolah rencana yang dipaparkan di muka umum. Lahir dalam kebahagiaan,
dibesarkan dalam kemanjaan, sekolah di tempat yang baik, hidup dalam
pengawasan, dan nantinya Tama akan menikah dengan orang yang sudah ditentukan
keluarganya.
Apa
lagi yang menjadi rahasia?
“Kamu
fikir aku apa? Menerima coklat darimu tujuh hari dalam seminggu akan membuatku
menjadi badut bulan depan!” Tama menaikkan volume suaranya.
Miyata
hanya tersenyum bodoh seperti biasanya.
Apakah
dia tidak mengerti Tama menolaknya mentah-mentah? Tama tidak berada dalam
jangkauannya.
“Aku
tida tau itu. Baiklah, besok akan kubawakan yang lain!” Miyata menjawab seolah
Tama tidak memberinya tatapan meremehkan.
Miyata
bekerja di perusahaan pengiriman yang dipimpin Gaya, kakak Tama sejak tahun
lalu dan semenjak itu juga terus mengejar-ngejar Tama. Entah bagaimana dari
sekian perusahaan milik keluarganya Miyata justru terdampar di tempat yang
paling sering dikunjunginya.
Yang
membuat Tama lebih kesal pada Miyata adalah kenyataan bahwa Gaya sama sekali
tidak terpengaruh rayuannya untuk menendangnya dari perusahaan.
“Terserah!
Menyingkir! Aku akan mengadukanmu pada kakakku!!” Tama kali ini benar-benar
berteriak, berjalan hingga menubruk bahu Miyata dan bergegas menuju ruanga
Gaya.
‘Brak’
Dan
seperti biasa ketika kebiasaannya datang ke ruangan kakaknya, Tama membanting
pintu dan melempar tasnya ke lantai. Guci yang baru saja Gaya letakkan di
ruangannya, hadiah dari temannya di Cina hancur karena Tama melemparkan vas
tepat di bagian tengahnya.
Gaya
yang sedang berbicara dengan Hikaru melalui telfon hanya menatap Tama sebentar
sebelum mengatakan pada Hikaru untuk menelfon lagi nanti.
“Itu
guci baru dan sangat mahal!” Gaya berkomentar pelan sebelum menelfon ibunya.
“Ma,
Tama mengamuk lagi di kantorku!” Lalu menutup telfonnya begitu saja karena Tama
sudah merebutnya dan melemparnya ke sofa.
Gaya
tidak bisa marah pada adik semata wayangnya. Taa selalu berhasil membuatnya
emosi tapi juga membuatnya tidak berkutik.
“Makhluk
menyebalkan itu, kenapa tidak kakak lempar saja dia ke laut atau kirim sekalian
ke planet Mars! Aku muak melihatnya!!” Tama berteriak sebelum membanting
tubuhnya ke sofa dengan nafas memburu.
Emosinya
semakin tidak terkontrol menjelang hari pertunangannya.
“Kenapa
lagi dengan Miyata? Dia merayumu lagi?” Gaya bertanya santai.
“Lalu
kamu membiarkannya? Kalian akan .... aku .... bertunangan ... dia ... !” Tama
mulai gemetaran.
Ditekuknya kedua kakinya hingga naik ke sofa, membuatnya duduk
meringkuk.
Gaya
mengambil nafas panjang..
“Karena
kami yakin kamu akan bertunangan dengan Hikaru sesuai rencana, menikah sesuai
yang kami katakan, Miyata bukanlah sebuah ancaman. Dia tidak membuatmu
membangkang kan?” Gaya Menyahut setelah
Tama mulai tenang.
Tama
hanya membuang muka.
Selalu
seperti itu.
Apa
pun yang dikatakannya tidak akan menjadi pertimbangan. Jika perlu, ia tidak
perlu bicara sekalian.
“Hikaru
ingin makan malam denganmu nanti. Bersiaplah!” Gaya memberikan perintahnya
sambil kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya.
“Jangan
memerintahku! Aku bukan bawahanmu!” Tama menghempaskan kakinya kembali ke
lantai.
“Kamu
adikku! Bawahanku bisa menolak perintahku tapi kamu tidak, Tama! Hidupmu,adalah
seperti apa yang aku, ayah dan ibu kita katakan. Semuanya akan baik-baik saja
selama kamu menurut!” Gaya kembali pada ‘hukum’ dan ‘perundang-undangan’
hidupnya, membuat Tama semakin kesal dan segera pergi dari ruangan itu.
Tak
lama, karena dalam hitungan ke sepuluh Tama masuk lagi untuk mengambil tasnya,
menarik dompet Gaya dan mengambil kartu
kredit.
***
Tama
terus menarik Miyata sejak dari kantor, membawanya berjalan entah kemana.
Miyata yang diseret seperti paper bag kosong hanya menurut. Yang ia tau Tama
sedang tertekan tapi tidak bisa melampiaskannya.
Tama
yang angkuh hanya sebuah topeng untuk menutupi kelemahannya. Dia hanya tidak
ingin orang-orang melihat kelemahannya. Setiap kemarahan dan wajah dingin yang
ditunjukkannya hanya bentuk pertahanan dirinya.
Miyata
bisa membacanya semenjak pertama kali bertemu Tama, bahwa Tama merasa
sendirian, kesepian, kosong dan kebingungan.
Hidup
seperti boneka adalah sebuah jalan berbentuk lingkaran yang tidak akan
membawamu keluar dari sangkar.
Itu.
Seperti perumpamaan itu.
Benar-benar
seperti itu.
Jika
Miyata bisa mengatakan apa yang sedang dirasakannya, pergi kemana pun yang ia
mau selama ia bisa, maka Tama harus patuh dan melakukan apa yang dikatakan
padanya, diam di tempatnya seumur hidupnya.
“Aku
.... lakukan apa pun agar aku bisa merasakan keberadaanku sendiri!” Tama
berkata seolah memberi Miyata perintah.
Tapi
Miyata mengerti begitulah cara yang difahami Tama untuk meminta pertolongan.
Tama
mendudukkan dirinya di atas rumput. Matahari di atas sana menaburinya dengan
cahaya, membuatnya berkilauan. Matanya sayu menatap aliran air.
Kemana
air akan pergi? Haruskah ke laut?
Miyata
membungkuk, meletakkan kedua telapak tangannya di pipi Tama, menghadapkan wajah
sepi itu padanya.
“Tidak
apa-apa, meskipun orang lain tidak bisa melihatmu, aku pasti bisa menemukanmu!”
Miyata berkata lembut.
Tama
menatapnya tidak mengerti, hingga Miyata mengatukan kedua bibir mereka. Dalam
satu ciuman yang lembut.
Selanjutnya
Tama membiarkan Miyata membawanya kemana pun. Makan di kedai murah, bermain di
taman seperti anak kecil, hingga bertaruh siapa yang akan sampai di seberang
jalan ketika seorang laki-laki tambun dan nenek-nenek menyeberang.
Hal-hal
konyol yang membuat Tama tertawa. Nyaris melupakan apa pun yang mengaturnya
sebelum ini.
Juga
bahwa Hikaru menunggunya jam delapan nanti.
“Kenapa
di saat seperti ini hujan sih?” Tanya Tama saat melihat pakaiannya hampir basah
separuhnya.
“Loh,
kamu tidak melihat ramalan cuaca ya?” Miyata menepuk-nepuk jeansnya.
“Apa
pentingnya yang seperti itu!” Tama mencibir.
Miyata
hanya tertawa garing. Mungkin sebelumnya Tama tidak perlu memperhatikan hal-hal
seperti ini.
Saat
Miyata kembali menoleh pada Tama, mata Tama sudah sibuk menjelajahi bunga-bunga
yang ditata rapi di emperan toko bunga ini.
Warna-warna
bunga membuat tempat ini nyaman. Harumnya juga terasa hangat.
“Mau
masuk? Sebagai pengganti coklat, aku akan memberimu bunga!” Miyata menawari.
Tama
meliriknya sekilas.
Wajahnya
seolah tidak tertarik, tapi kurang dari semenit, Tama sudah memasuki toko itu
terlebih dahulu.
Berbagai
jenis bunga menyapa mereka begitu masuk.
Pencahayaan
yang manis dan bunga-bunga yang ditata rapi membuat ruangan luas dengan
sekat-sekat kaca atau rak berisi bunga membuatnya seperti taman bunga yang indah.
Seorang
pegawai menyapa mereka dan menawarkan bantuan, tapi Miyata mengatakan bahwa ia
ingin melihat-lihat dulu. Memberikan waktu bagi Tama untuk melihat sekeliling.
Pegawai itu tersenyum sopan lantas mengatakan untuk mengatakan pada pegawai
jika mereka menginginkan bunga atau memiliki pertanyaan.
Tama
tersenyum tanpa sadar saat melihat beberapa tangkai bunga matahari tertata di
sebuah vas besar ditemani beberapa bunga lain.
“Ah!
Aku ingin yang itu!” Miyata segera menunjuk bunga-bunga itu, membuat Tama
menatap sewot padanya.
***
Tama
membuang muka. Menatap jenuh pada lampion-lampion dengan lampu kekuningan
berbagai bentuk yang tergantung di langit-langit kamarnya. Kamarnya seolah
berwarna keemasan karena itu, bercampur suasana yang seperti dunia dongeng.
Pipinya
terasa panas. Sudah sangat lama sejak tamparan terakhir mendarat di pipinya.
Sepertinya Gaya menggunakan hampir seluruh tenaganya untuk menampar Tama hingga
terlempar membentur ke ranjang. Berita baiknya, kepalanya membentur tepian
kasur sehingga Tama tidak benar-benar terluka.
“Kita
akan membicarakan ini besok pagi!” Gaya memberi keputusan setelah Tama hanya
diam tanpa menjawab satu pun pertanyaannya, tidak memberikan alasan mengapa
tidak datang untuk makan malam bersama Hikaru tanpa memberi kabar.
Tama
mengangkat wajahnya setelah Gaya keluar dari kamarnya. Beberapa pelayannya
mendekat, mencoba membantu Tama bangun.
“Keluar!”
Perintahnya.
“Tapi
Anda terluka!” Salah satu pelayannya mencoba membantu tapi Tama segera
menepisnya.
“KELUAR!!!”Teriaknya
hingga para pelayan itu berhamburan keluar.
Tama
tersenyum.
Bagus
sekali. Ini adalah pemberontakannya yang pertama.
Kedua
orangtuanya sepertinya masih menyerahkan semuanya pada Gaya. Ayahnya tidak
merespon sama sekali.
Rasanya
seperti ada yang menantangnya untuk membuat Gaya lebih arah lagi.
***
“Gaya
menamparmu?” Miyata hampir tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan Tama.
Tama
terlihat biasa saja, seolah tidak terjadi apa pun dan tetap mengamati
buket-buket bunga yang disusun rapi di toko kemarin.
Ia
memutuskan datang lagi ke sini.
Menemukan
hal-hal sederhana yang mungkin tidak pernah difikirkannya.
“Apakah
sakit?”
Miyata
mengelus pipi Tama dan Tama hanya tersenyum, menyingkirkan tangan Miyata lalu
meletakkan tangannya di antara bunga-bunga.
“Sakit?
Apakah yang disebut sakit sesederhana itu? Aku terkurung seumur hidupku dan itu
lebih menyedihkan!” Tama berujar santai.
“Bunga
apa yang membuatku akan bersemangat?” Tama bertanya pada seorang pegawai yang
sedang menata bunga menjadi rangkaian yang cantik dengan pita ungu.
Tama
tidak melihatnya kemarin. Sepertinya pegawai ini masih remaja.
“Ah,
bunga matahari. Bagi saya, bunga matahari menggambarkan semangat untuk
menantang siang, tegak menghadap matahari. Mungkin terlihat sedikit bodoh, tapi
itu kebahagiaan sederhana yang tidak semua orang sadari!” Pegawai itu menjawab
sambil tersenyum.
“Haaa,
seperti itu? Kalau begitu berikan au bunga matahari yang bagus!” Pinta Tama.
“Tentu
saja!”
“Menantang
siang, tegak menghadap matahari?” Tama berguman sendiri.
Miyata
hanya menggeleng di sampingnya. Sadar bahwa Tama berencana untuk menantang
keluarganya.
Dan
benar.
Esok
paginya Gaya menghajarnya habis-habisan karena berfikir Miyata yang
mempengaruhi Tama untuk mengatakan tidak menginginkan pertunangan apalagi
pernikahannya dengan Hikaru di depan Hikaru dan keluarganya.
***
“Bagus
sekali! Sepertinya aku membuatmu nyaris mati sekarang!” Tama mendudukkan
dirinya disatu-satunya kursi yang tersisa di ruang rawat tempat Miyata terpaksa
menginap. Menyilangkan kakinya dan menatap Miyata tajam-tajam.
Tama
seperti tidak bisa melihat makhluk lain yang juga sedang bersemanyam di ruang
ini. Tentu saja, ada beberapa teman kantor Miyata yang membawa Miyata ke rumah
sakit setelah Gaya membuatnya hampir mati.
Miyata
masih berusaha tersenyum, membuat Tama memalingkan wajahnya. Airmatanya justru
tidak bisa ditahan jika pemuja terang-terangannya itu masih bisa tersenyum
padahal tubuhnya babak belur.
“Tubuhku
sakit semua, jika kamu menangis, aku akan lebih sakit, Tama!” Miyata berkata
pelan.
Teman-temannya
mengerti apa maksud Miyata, sehingga mereka segera pamit tanpa suara dan
meninggalkan dua orang itu berbicara.
“Meskipun
sulit, maukah kamu tetap berusaha melepaskan rantai yang mengikat kakimu?
Terbanglah menuju langit. Bahkan jika bukan aku yang membawamu terbang, aku
akan tetap bersyukur!” Miyata menatap Tama dalam-dalam.
Tama
diam. Dan hingga waktu berlalu perlahan, kediaman antara keduanya masih terus
berlangsung.
***
Toko
bunga itu hampir tutup ketika Tama masuk dengan tergesa-gesa. Wajahnya terasa
lembab karena udara dingin sementara dadanya panas karena bimbang.
Tama
merasa mulai menyukai Miyata tapi jika ia berusaha sedikit lebih jauh lagi,
Miyata pasti akan habis. Tapi jika ia memilih tetap menjadi burung dalam
sangkar, entah berapa hari lagi ia bisa menahan diri untuk tidak mengiris
nadinya sendiri.
“Maaf,
kami sudah akan tutup!” Seorang pegawai menyapa dengan ramah.
Tama
menunjukkan raut kecewanya.
Ia
merasa perlu menghirup harum bunga-bunga itu untuk menenangkan hati dan
fikirannya. Keputusan yang akan diambilnya, ia tidak tau apakah itu benar atau
salah. Setidaknya, Tama tidak ingin menyesal terlalu dalam.
“Tapi,
jika Anda sedang gelisah, duduk saja dulu. Bunga-bunga akan membuat Anda
sedikit lebih nyaman!” Pegawai itu tersenyum lagi, lalu menunjukkan kursi-kursi
yang mengelilingi meja.
Tama
membungkuk sebagai rasa terimakasihnya sebelum duduk.
Di
meja, berserakan beberapa bunga yang Tama nyaris tidak mengenali apa namanya.
Tapi ada beberapa bunga yang familiar seperti mawar dan bunga matahari.
“Masalah
Anda pasti begitu berat. Tapi, seperti kaktus itu, meskipun mereka harus
dipanggang matahari dan hidup seorang diri, mereka tetap bertahan hidup. Akar
mereka mencari jauh ke bawah, dan mereka menemukannya!” Pegawai yang lain
menyodorkan secangkir teh tanpa Tama minta.
Tama
memandang kedua pegawai itu. Masih tetap ramah padanya meskipun sambil
membereskan toko.
“Maaf.
Aku, ingin bunga yang membuatku merasa tenang!” Tama mencoba tersenyum.
***
Sarapan
berjalan hampa seperti biasanya.
Tama
menghela nafasnya berkali-kali dan hanya bermain dengan sendok dan garpunya.
“Apa
pun yang kamu inginkan, kami tetap lebih tau apa yang terbaik untukmu Tama!
Tempatmu, tujuanmu, alasanmu, kami akan mengaturnya. Dengan siapa, kapan dan
dimana kamu berteman atau menikah. Apa dan seperti apa yang harus kamu lakukan.
Semuanya, kami telah menyiapkannya untukmu dan kamu cukup mematuhinya!” Ayahnya
berbicara dengan nada datar.
Gaya
yang duduk berhadapan dengannya menyelesaikan sarapannya, lantas hanya
bersantai menikmati kopi paginya.
Tama
menahan tangan, kaki dan hatinya. Bibirnya terkatub, mencoba agar tidak
mengatakan sepatah kata pun.
Tama
mengambil nafas panjang sebelum meletakkan sendok dan garpunya.
Entah.
Rasanya Tama ingin mengambil semua beban yang menumpuk di hatinya dan
membakarnya, menjadikannya pupuk untuk bunga-bunga.
“Bagaimana
pun, kamu tidak akan bisa mengubah keputusan kami. Kamu akan menikah dengan
Hikaru. Pendapatmu tidak akan menjadi pertimbangan apa pun, karena kamu tidak
tau apa-apa. Bahkan tentang dirimu sendiri!” Gaya menutup acara sarapan itu
dengan menyodorkan sebentuk undangan padanya.
Tama
merasakan tangan halus ibunya menepuk-nepuk pahanya yang berlapis jeans.
Tidak
akan ada ucapannya yang didengarkan kali ini. Bahkan jika Tama berharap menjad
kaktus yang tumbuh di tanah berpasir tandus, menjadi kuat hingga sanggup
menanamkan akarnya jauh ke dalam bumi, Tama bisa melihat bahwa cermin
menunjukkan bahwa dirinya adalah sekuntum anggrek.
***
Tama
tersenyum ketika pegawai yang semalam berbicara padanya, bahkan tiba-tiba
membuat Tama menjadi pendongeng yang mengisahkan seluruh keluh kesahnya, berdri
di bagian kasir, melayani seorang pelanggan yang sedang membayar sebuket bunga.
Deretan
pot mungil berisi kaktus berjajar rapi membentuk piramida. Duri-duri halus
menyamarkan warna hijaunya menjadi keputih-putihan. Tama menyentuh salah satu
yang di tengah dan duri-duri itu berhasil melukai jarinya, sebagian bahkan
masih menancap ketika Tama menarik tangannya.
“Seharusnya
Anda tidak melukai diri Anda sendiri!” Pegawai yang semula menjadi kasir itu
menarik tangan Tama, mencabut beberapa duri halus yang masih menempel dengan
pinset.
“Maaf.
Saya memang sedikit bodoh!” Tama tersenyum canggung.
“Bukan.
Maksud saya adalah karena Anda tidak membaca petunjuk yang diberikan, sehingga
Anda melukai diri Anda sendiri. Apa pun itu, ketika ada petunjuk yang melarang
Anda untuk melakukan sesuatu, maka Anda harus memperhatikannya meskipun
kelihatannya tidak akan merugikan jika Anda tetap melakukannya!” Pegawai itu
melanjutkan sambil mengelosi jari-jari Tama dengan sesuatu. Sejenis gel yang
terasa dingin.
Tama
membungkuk sedikit ketika pegawai itu selesai membantunya.
“Kali
ini, apa yang Anda inginkan?” Tanya pegawai itu.
“Ah,
sebuket bunga apa pun untuk seorang teman yang sedang sakit. Dan beberapa
kaktus untuk saya rawat di rumah!”
“Mohon
tunggu sebentar!” Pegawai itu berlalu sesaat, meminta seorang pegawai yang lain
menyusun buket bunga untuk Tama sementara dia sendiri menyiapkan beberapa
kaktus.
Dalam
beberapa menit, Tama mendapatkan sebuket lily dan paper bag dengan kotak-kotak
kecil berisi kaktus.
“Semoga
teman Anda cepat sembuh! Dan kaktus itu, meskipun kelihatannya mudah di
pelihara, tapi ketika ia tidak berada di tempat an kondisi yang tepat untuknya,
dia juga akan ati dengan mudah!”
***
Miyata
baru saja menyelesaikan pemeriksaannya ketika Tama sampai. Tanpa permisi, Tama
mengganti bunga dalam vas.
Tama
tidak memperlihatkan senyumnya. Hanya wajah yang seperti biasanya. Terkadang ia
nampak sedang berfikir. Tapi mengelak ketika Miyata mencoba mencari tahu.
Hari
berikutnya pun begitu. Tama dan datang saat istirahat siang. Miyata sudah
membaik, bahkan akan pulang besok. Tama hanya mengobrol seenaknya dan mengajak
Miyata berkeliling di taman rumah sakit. Selain itu tidak ada.
Tama
terlihat sudah mulai mengontrol dirinya sendiri. Tidak ada kata dalam otaknya
yang mampu Miyata tarik keluar.
Hingga
saat Miyata keluar dari rumah sakit dan Tama menjemputnya.
“Kamu
pasti bertanya-tanya. Apakah aku harus menjawabnya?”Tama menyodorkan ice cream
ke hadapan Miyata.
“Hm.
Aku bertanya-tanya memang. Tapi kamu tidak harus menjawabnya kok. Ada banyak
hal yang tidak bisa kita ungkapkan!” Miyata meletakkan tangannya di atas kepala
Tama, mengelus rambutnya.
Tama
tersenyum, membuat Miyata tersentak. Tama benci jika ada yang mengusik
rambutnya, tapi kali ini Tama hanya menerimanya. Dan lagi, senyumannya itu,
begitu manis.
Semilir
angin yang datang dari arah utara, Tama memejamkan matanya dan membiarkan angin
merasuki hatinya. Aroma bunga-bunga dari toko bunga di seberang jalan, persis
di depan taman ini, tempatnya beberapa hari ini menepi dan meresapi arti hidup
dari bunga-bunga itu, menyebar hingga menenangkan hatinya.
Tama
takut. Benar. Gelisah. Iya.
Rasanya
ingin meninggalkan tempatnya berpijak, mencuri sayap burung-burung dan terbang
ke langit. Tapi Tama tau ada yang mungkin dan tidak mungkin dalam kehidupan.
Ada hal-hal yang bisa saja dilakukannya, tapi dengan konsekuensi yang mungkin
tidak akan sanggup dipikulnya.
Melihat
orang yang mulai ia cintai tersakiti, melihat kecemasan ibunya, melihat
kekecewaan gaya, melihat bagaimana jika nanti ayahnya malu, melihat bagaimana
jika Hikaru marah. Terlalu banyak hal yang harus dipikulnya untuk satu alasan
yang sama.
Ketika
mencoba memberontak, Tama hanya ingin melihat seberapa jauh dirinya bisa
berjalan. Tapi ternyata ia menemukan persimpangan dan kebingungan.
Dalam
kehidupan bunga-bunga, mereka mekar bukan untuk dirinya sendiri. Nektar untuk
lebah, akar bukan hanya untuk mencari air, tapi juga menyimpannya, memupuk
tanah, memperindah taman. Bersinergi dengan kupu-kupu dan burung-burung, mereka
memilih untuk mekar dengan begitu cantiknya.
Bahkan
ketika kaktus hidup di gurun, mereka juga berdiri kokoh untuk orang-orang yang
kehausan. Memindahkan mereka ke tempat yang lebih banyak air, mungkin sekian
waktu akan membuat mereka terlihat lebih mudah untuk tumbuh, nyatanya mereka
akan mati dan membusuk.
Gaya
mencoba melindunginya selama hidupnya. Tugasnya sebagai kakak. Ayah dan ibunya,
mencemaskan masa depannya, mencoba menemukan tempat terbaik untuknya. Meskipun
itu mengurungnya, Tama juga bisa melihat mata mereka yang memandang kepadanya.
Kehidupan
yang baik ketika mereka tidak lagi di sampingnya. Mencarikan orang yang tepat
untuk melanjutkan tugas mereka.
Sebenarnya,
Tama mulai mengerti.
Tama
tersenyum sekali lagi, membuka matanya dan menemukan Miyata menatapnya
terpesona.
“Tatap
aku sesukamu, tapi jangan menggenggam tanganku!” Tama meraih tangan Miyata yang
mengelus rambutnya, lalu meletakkannya di bangku taman.
“Kenapa?”
Miyata mencoba menggerakkan tangannya untuk kembali menyentuh Tama, tapi Tama
menolaknya.
“Karena
itu tugas orang lain!” Tama menjawab sambil memalingkan wajahnya.
Miyata
menarik tangannya kembali, tersenyum pahit. Ia sudah mengerti sekarang.
“Terimakasih
banyak. Aku melihat banyak hal denganmu. Tapi bagaimana pun aku tidak bisa
bertahan hanya dengan kakiku sendiri. Aku akan menikah bulan depan!” Tama
kembali menoleh, membiarkan Miyata melihat wajah penuh airmatanya kali ini
saja.
Miyata
tersenyum. Masih getir.
“Apa
pun. Jika itu keputusanmu sendiri, aku akan mendukungmu. Aku tau aku tidak akan
bisa membawa seekor lumba-lumba berlarian di jalanan. Tapi jika dia sendiri
yang memilih untuk tinggal di kolam dan bukan lautan, aku akan datang untuk
melihatnya bahagia!”
***
Tama
meletakkan pot kecil berisi kaktus itu di meja yang menghadap jendela kamarnya.
Hari ini cerah dengan angin yang sejuk.
Di
langit, beberapa ekor burung mengepakkan sayapnya. Terlihat kecil, tapi Tama
melihat perjuangan mereka. Saling menjaga. Jika sang anak keluar dari barisan,
maka keluarganya tidak akan bisa menjaganya lagi.
“Tama,
ayo!” Gaya menariknya keluar.
Tama
hanya mengikuti, sebelum kembali menoleh dan melihat rangkaian bunga matahari
kiriman Miyata. Dia belum mampu datang di hari pernikahannya, dan Tama
mengerti. Tidak ada yang mudah di antara mereka berdua.
Hingga
Tama melangkahkan kakinya keluar dari pintu, dan kenangan di belakang sana
harus ditinggalkannya. Masa lalu, seindah apa pun dia, tetap bukan lagi
miliknya.
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar