Senin, 12 Januari 2015

Rain and Sun Flower MiyaTama ver.



Rain and Sun Flower

*Impian-impian di toko bunga*
IV. Tama (Tamamori Yuta, Miyata Toshiya, Kis-my-ft2, Yaotome Hikaru)


Berdiri dengan kokoh dan menatap angkuh. Wajahnya yang cantik dengan bibir yang dimanyunkan sedikit, menunjukkan ketidaksukaannya pada orang yang ada di depannya kini.

Bagi Tama, kesialan terbesar dalam hidupnya adalah hidupnya sendiri.

Tama sempurna. Begitu yang akan orang katakan. Lahir dalam keluarga yang akan melimpahinya dengan harta, dididik penuh keanggunan yang menurutnya sekedar omong kosng tentang sopan santun, kakak yang memanjakannya hingga ia nyaris sesak nafas, kecantikan yang menyihir mata hingga orang-orang terus memperhatikannya, dan semenjak setahun belakangan, orang bodoh yang mengejar-ngejarnya seperti maling.

Bosan. Tama bosan dengan hidupnya yang seperti cerita dongeng. Kakaknya memang mengatakan bahwa Tama adalah putri dari negeri dongeng, tapi Tama ingin mencoba hidup seperti dalam film action yang mendebarkan.

Hidupnya berjalan seolah rencana yang dipaparkan di muka umum. Lahir dalam kebahagiaan, dibesarkan dalam kemanjaan, sekolah di tempat yang baik, hidup dalam pengawasan, dan nantinya Tama akan menikah dengan orang yang sudah ditentukan keluarganya.

Apa lagi yang menjadi rahasia?

“Kamu fikir aku apa? Menerima coklat darimu tujuh hari dalam seminggu akan membuatku menjadi badut bulan depan!” Tama menaikkan volume suaranya.

Miyata hanya tersenyum bodoh seperti biasanya.

Apakah dia tidak mengerti Tama menolaknya mentah-mentah? Tama tidak berada dalam jangkauannya.

“Aku tida tau itu. Baiklah, besok akan kubawakan yang lain!” Miyata menjawab seolah Tama tidak memberinya tatapan meremehkan.

Miyata bekerja di perusahaan pengiriman yang dipimpin Gaya, kakak Tama sejak tahun lalu dan semenjak itu juga terus mengejar-ngejar Tama. Entah bagaimana dari sekian perusahaan milik keluarganya Miyata justru terdampar di tempat yang paling sering dikunjunginya.

Yang membuat Tama lebih kesal pada Miyata adalah kenyataan bahwa Gaya sama sekali tidak terpengaruh rayuannya untuk menendangnya dari perusahaan.

“Terserah! Menyingkir! Aku akan mengadukanmu pada kakakku!!” Tama kali ini benar-benar berteriak, berjalan hingga menubruk bahu Miyata dan bergegas menuju ruanga Gaya.

‘Brak’

Dan seperti biasa ketika kebiasaannya datang ke ruangan kakaknya, Tama membanting pintu dan melempar tasnya ke lantai. Guci yang baru saja Gaya letakkan di ruangannya, hadiah dari temannya di Cina hancur karena Tama melemparkan vas tepat di bagian tengahnya.

Gaya yang sedang berbicara dengan Hikaru melalui telfon hanya menatap Tama sebentar sebelum mengatakan pada Hikaru untuk menelfon lagi nanti.

“Itu guci baru dan sangat mahal!” Gaya berkomentar pelan sebelum menelfon ibunya.

“Ma, Tama mengamuk lagi di kantorku!” Lalu menutup telfonnya begitu saja karena Tama sudah merebutnya dan melemparnya ke sofa.

Gaya tidak bisa marah pada adik semata wayangnya. Taa selalu berhasil membuatnya emosi tapi juga membuatnya tidak berkutik.

“Makhluk menyebalkan itu, kenapa tidak kakak lempar saja dia ke laut atau kirim sekalian ke planet Mars! Aku muak melihatnya!!” Tama berteriak sebelum membanting tubuhnya ke sofa dengan nafas memburu.

Emosinya semakin tidak terkontrol menjelang hari pertunangannya.

“Kenapa lagi dengan Miyata? Dia merayumu lagi?” Gaya bertanya santai.

“Lalu kamu membiarkannya? Kalian akan .... aku .... bertunangan ... dia ... !” Tama mulai gemetaran. 

Ditekuknya kedua kakinya hingga naik ke sofa, membuatnya duduk meringkuk.

Gaya mengambil nafas panjang..

“Karena kami yakin kamu akan bertunangan dengan Hikaru sesuai rencana, menikah sesuai yang kami katakan, Miyata bukanlah sebuah ancaman. Dia tidak membuatmu membangkang kan?” Gaya Menyahut  setelah Tama mulai tenang.

Tama hanya membuang muka.

Selalu seperti itu.

Apa pun yang dikatakannya tidak akan menjadi pertimbangan. Jika perlu, ia tidak perlu bicara sekalian.

“Hikaru ingin makan malam denganmu nanti. Bersiaplah!” Gaya memberikan perintahnya sambil kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya.

“Jangan memerintahku! Aku bukan bawahanmu!” Tama menghempaskan kakinya kembali ke lantai.

“Kamu adikku! Bawahanku bisa menolak perintahku tapi kamu tidak, Tama! Hidupmu,adalah seperti apa yang aku, ayah dan ibu kita katakan. Semuanya akan baik-baik saja selama kamu menurut!” Gaya kembali pada ‘hukum’ dan ‘perundang-undangan’ hidupnya, membuat Tama semakin kesal dan segera pergi dari ruangan itu.

Tak lama, karena dalam hitungan ke sepuluh Tama masuk lagi untuk mengambil tasnya, menarik dompet  Gaya dan mengambil kartu kredit.

***

Tama terus menarik Miyata sejak dari kantor, membawanya berjalan entah kemana. Miyata yang diseret seperti paper bag kosong hanya menurut. Yang ia tau Tama sedang tertekan tapi tidak bisa melampiaskannya.

Tama yang angkuh hanya sebuah topeng untuk menutupi kelemahannya. Dia hanya tidak ingin orang-orang melihat kelemahannya. Setiap kemarahan dan wajah dingin yang ditunjukkannya hanya bentuk pertahanan dirinya.

Miyata bisa membacanya semenjak pertama kali bertemu Tama, bahwa Tama merasa sendirian, kesepian, kosong dan kebingungan.

Hidup seperti boneka adalah sebuah jalan berbentuk lingkaran yang tidak akan membawamu keluar dari sangkar.

Itu. Seperti perumpamaan itu.

Benar-benar seperti itu.

Jika Miyata bisa mengatakan apa yang sedang dirasakannya, pergi kemana pun yang ia mau selama ia bisa, maka Tama harus patuh dan melakukan apa yang dikatakan padanya, diam di tempatnya seumur hidupnya.

“Aku .... lakukan apa pun agar aku bisa merasakan keberadaanku sendiri!” Tama berkata seolah memberi Miyata perintah.

Tapi Miyata mengerti begitulah cara yang difahami Tama untuk meminta pertolongan.

Tama mendudukkan dirinya di atas rumput. Matahari di atas sana menaburinya dengan cahaya, membuatnya berkilauan. Matanya sayu menatap aliran air.

Kemana air akan pergi? Haruskah ke laut?

Miyata membungkuk, meletakkan kedua telapak tangannya di pipi Tama, menghadapkan wajah sepi itu padanya.

“Tidak apa-apa, meskipun orang lain tidak bisa melihatmu, aku pasti bisa menemukanmu!” Miyata berkata lembut.

Tama menatapnya tidak mengerti, hingga Miyata mengatukan kedua bibir mereka. Dalam satu ciuman yang lembut.

Selanjutnya Tama membiarkan Miyata membawanya kemana pun. Makan di kedai murah, bermain di taman seperti anak kecil, hingga bertaruh siapa yang akan sampai di seberang jalan ketika seorang laki-laki tambun dan nenek-nenek menyeberang.

Hal-hal konyol yang membuat Tama tertawa. Nyaris melupakan apa pun yang mengaturnya sebelum ini.
Juga bahwa Hikaru menunggunya jam delapan nanti.

“Kenapa di saat seperti ini hujan sih?” Tanya Tama saat melihat pakaiannya hampir basah separuhnya.

“Loh, kamu tidak melihat ramalan cuaca ya?” Miyata menepuk-nepuk jeansnya.

“Apa pentingnya yang seperti itu!” Tama mencibir.

Miyata hanya tertawa garing. Mungkin sebelumnya Tama tidak perlu memperhatikan hal-hal seperti ini.
Saat Miyata kembali menoleh pada Tama, mata Tama sudah sibuk menjelajahi bunga-bunga yang ditata rapi di emperan toko bunga ini.

Warna-warna bunga membuat tempat ini nyaman. Harumnya juga terasa hangat.

“Mau masuk? Sebagai pengganti coklat, aku akan memberimu bunga!” Miyata menawari.

Tama meliriknya sekilas.

Wajahnya seolah tidak tertarik, tapi kurang dari semenit, Tama sudah memasuki toko itu terlebih dahulu.

Berbagai jenis bunga menyapa mereka begitu masuk.

Pencahayaan yang manis dan bunga-bunga yang ditata rapi membuat ruangan luas dengan sekat-sekat kaca atau rak berisi bunga membuatnya seperti taman bunga yang  indah.

Seorang pegawai menyapa mereka dan menawarkan bantuan, tapi Miyata mengatakan bahwa ia ingin melihat-lihat dulu. Memberikan waktu bagi Tama untuk melihat sekeliling. Pegawai itu tersenyum sopan lantas mengatakan untuk mengatakan pada pegawai jika mereka menginginkan bunga atau memiliki pertanyaan.

Tama tersenyum tanpa sadar saat melihat beberapa tangkai bunga matahari tertata di sebuah vas besar ditemani beberapa bunga lain.

“Ah! Aku ingin yang itu!” Miyata segera menunjuk bunga-bunga itu, membuat Tama menatap sewot padanya.

***

Tama membuang muka. Menatap jenuh pada lampion-lampion dengan lampu kekuningan berbagai bentuk yang tergantung di langit-langit kamarnya. Kamarnya seolah berwarna keemasan karena itu, bercampur suasana yang seperti dunia dongeng.

Pipinya terasa panas. Sudah sangat lama sejak tamparan terakhir mendarat di pipinya. Sepertinya Gaya menggunakan hampir seluruh tenaganya untuk menampar Tama hingga terlempar membentur ke ranjang. Berita baiknya, kepalanya membentur tepian kasur sehingga Tama tidak benar-benar terluka.

“Kita akan membicarakan ini besok pagi!” Gaya memberi keputusan setelah Tama hanya diam tanpa menjawab satu pun pertanyaannya, tidak memberikan alasan mengapa tidak datang untuk makan malam bersama Hikaru tanpa memberi kabar.

Tama mengangkat wajahnya setelah Gaya keluar dari kamarnya. Beberapa pelayannya mendekat, mencoba membantu Tama bangun.

“Keluar!” Perintahnya.

“Tapi Anda terluka!” Salah satu pelayannya mencoba membantu tapi Tama segera menepisnya.

“KELUAR!!!”Teriaknya hingga para pelayan itu berhamburan keluar.

Tama tersenyum.

Bagus sekali. Ini adalah pemberontakannya yang pertama.

Kedua orangtuanya sepertinya masih menyerahkan semuanya pada Gaya. Ayahnya tidak merespon sama sekali.

Rasanya seperti ada yang menantangnya untuk membuat Gaya lebih arah lagi.

***
“Gaya menamparmu?” Miyata hampir tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan Tama.
Tama terlihat biasa saja, seolah tidak terjadi apa pun dan tetap mengamati buket-buket bunga yang disusun rapi di toko kemarin.
Ia memutuskan datang lagi ke sini.
Menemukan hal-hal sederhana yang mungkin tidak pernah difikirkannya.
“Apakah sakit?”
Miyata mengelus pipi Tama dan Tama hanya tersenyum, menyingkirkan tangan Miyata lalu meletakkan tangannya di antara bunga-bunga.
“Sakit? Apakah yang disebut sakit sesederhana itu? Aku terkurung seumur hidupku dan itu lebih menyedihkan!” Tama berujar santai.
“Bunga apa yang membuatku akan bersemangat?” Tama bertanya pada seorang pegawai yang sedang menata bunga menjadi rangkaian yang cantik dengan pita ungu.
Tama tidak melihatnya kemarin. Sepertinya pegawai ini masih remaja.
“Ah, bunga matahari. Bagi saya, bunga matahari menggambarkan semangat untuk menantang siang, tegak menghadap matahari. Mungkin terlihat sedikit bodoh, tapi itu kebahagiaan sederhana yang tidak semua orang sadari!” Pegawai itu menjawab sambil tersenyum.
“Haaa, seperti itu? Kalau begitu berikan au bunga matahari yang bagus!” Pinta Tama.
“Tentu saja!”
“Menantang siang, tegak menghadap matahari?” Tama berguman sendiri.
Miyata hanya menggeleng di sampingnya. Sadar bahwa Tama berencana untuk menantang keluarganya.
Dan benar.
Esok paginya Gaya menghajarnya habis-habisan karena berfikir Miyata yang mempengaruhi Tama untuk mengatakan tidak menginginkan pertunangan apalagi pernikahannya dengan Hikaru di depan Hikaru dan keluarganya.
***
“Bagus sekali! Sepertinya aku membuatmu nyaris mati sekarang!” Tama mendudukkan dirinya disatu-satunya kursi yang tersisa di ruang rawat tempat Miyata terpaksa menginap. Menyilangkan kakinya dan menatap Miyata tajam-tajam.
Tama seperti tidak bisa melihat makhluk lain yang juga sedang bersemanyam di ruang ini. Tentu saja, ada beberapa teman kantor Miyata yang membawa Miyata ke rumah sakit setelah Gaya membuatnya hampir mati.
Miyata masih berusaha tersenyum, membuat Tama memalingkan wajahnya. Airmatanya justru tidak bisa ditahan jika pemuja terang-terangannya itu masih bisa tersenyum padahal tubuhnya babak belur.
“Tubuhku sakit semua, jika kamu menangis, aku akan lebih sakit, Tama!” Miyata berkata pelan.
Teman-temannya mengerti apa maksud Miyata, sehingga mereka segera pamit tanpa suara dan meninggalkan dua orang itu berbicara.
“Meskipun sulit, maukah kamu tetap berusaha melepaskan rantai yang mengikat kakimu? Terbanglah menuju langit. Bahkan jika bukan aku yang membawamu terbang, aku akan tetap bersyukur!” Miyata menatap Tama dalam-dalam.
Tama diam. Dan hingga waktu berlalu perlahan, kediaman antara keduanya masih terus berlangsung.
***
Toko bunga itu hampir tutup ketika Tama masuk dengan tergesa-gesa. Wajahnya terasa lembab karena udara dingin sementara dadanya panas karena bimbang.
Tama merasa mulai menyukai Miyata tapi jika ia berusaha sedikit lebih jauh lagi, Miyata pasti akan habis. Tapi jika ia memilih tetap menjadi burung dalam sangkar, entah berapa hari lagi ia bisa menahan diri untuk tidak mengiris nadinya sendiri.
“Maaf, kami sudah akan tutup!” Seorang pegawai menyapa dengan ramah.
Tama menunjukkan raut kecewanya.
Ia merasa perlu menghirup harum bunga-bunga itu untuk menenangkan hati dan fikirannya. Keputusan yang akan diambilnya, ia tidak tau apakah itu benar atau salah. Setidaknya, Tama tidak ingin menyesal terlalu dalam.
“Tapi, jika Anda sedang gelisah, duduk saja dulu. Bunga-bunga akan membuat Anda sedikit lebih nyaman!” Pegawai itu tersenyum lagi, lalu menunjukkan kursi-kursi yang mengelilingi meja.
Tama membungkuk sebagai rasa terimakasihnya sebelum duduk.
Di meja, berserakan beberapa bunga yang Tama nyaris tidak mengenali apa namanya. Tapi ada beberapa bunga yang familiar seperti mawar dan bunga matahari.
“Masalah Anda pasti begitu berat. Tapi, seperti kaktus itu, meskipun mereka harus dipanggang matahari dan hidup seorang diri, mereka tetap bertahan hidup. Akar mereka mencari jauh ke bawah, dan mereka menemukannya!” Pegawai yang lain menyodorkan secangkir teh tanpa Tama minta.
Tama memandang kedua pegawai itu. Masih tetap ramah padanya meskipun sambil membereskan toko.
“Maaf. Aku, ingin bunga yang membuatku merasa tenang!” Tama mencoba tersenyum.
***
Sarapan berjalan hampa seperti biasanya.
Tama menghela nafasnya berkali-kali dan hanya bermain dengan sendok dan garpunya.
“Apa pun yang kamu inginkan, kami tetap lebih tau apa yang terbaik untukmu Tama! Tempatmu, tujuanmu, alasanmu, kami akan mengaturnya. Dengan siapa, kapan dan dimana kamu berteman atau menikah. Apa dan seperti apa yang harus kamu lakukan. Semuanya, kami telah menyiapkannya untukmu dan kamu cukup mematuhinya!” Ayahnya berbicara dengan nada datar.
Gaya yang duduk berhadapan dengannya menyelesaikan sarapannya, lantas hanya bersantai menikmati kopi paginya.
Tama menahan tangan, kaki dan hatinya. Bibirnya terkatub, mencoba agar tidak mengatakan sepatah kata pun.
Tama mengambil nafas panjang sebelum meletakkan sendok dan garpunya.
Entah. Rasanya Tama ingin mengambil semua beban yang menumpuk di hatinya dan membakarnya, menjadikannya pupuk untuk bunga-bunga.
“Bagaimana pun, kamu tidak akan bisa mengubah keputusan kami. Kamu akan menikah dengan Hikaru. Pendapatmu tidak akan menjadi pertimbangan apa pun, karena kamu tidak tau apa-apa. Bahkan tentang dirimu sendiri!” Gaya menutup acara sarapan itu dengan menyodorkan sebentuk undangan padanya.
Tama merasakan tangan halus ibunya menepuk-nepuk pahanya yang berlapis jeans.
Tidak akan ada ucapannya yang didengarkan kali ini. Bahkan jika Tama berharap menjad kaktus yang tumbuh di tanah berpasir tandus, menjadi kuat hingga sanggup menanamkan akarnya jauh ke dalam bumi, Tama bisa melihat bahwa cermin menunjukkan bahwa dirinya adalah sekuntum anggrek.
***
Tama tersenyum ketika pegawai yang semalam berbicara padanya, bahkan tiba-tiba membuat Tama menjadi pendongeng yang mengisahkan seluruh keluh kesahnya, berdri di bagian kasir, melayani seorang pelanggan yang sedang membayar sebuket bunga.
Deretan pot mungil berisi kaktus berjajar rapi membentuk piramida. Duri-duri halus menyamarkan warna hijaunya menjadi keputih-putihan. Tama menyentuh salah satu yang di tengah dan duri-duri itu berhasil melukai jarinya, sebagian bahkan masih menancap ketika Tama menarik tangannya.
“Seharusnya Anda tidak melukai diri Anda sendiri!” Pegawai yang semula menjadi kasir itu menarik tangan Tama, mencabut beberapa duri halus yang masih menempel dengan pinset.
“Maaf. Saya memang sedikit bodoh!” Tama tersenyum canggung.
“Bukan. Maksud saya adalah karena Anda tidak membaca petunjuk yang diberikan, sehingga Anda melukai diri Anda sendiri. Apa pun itu, ketika ada petunjuk yang melarang Anda untuk melakukan sesuatu, maka Anda harus memperhatikannya meskipun kelihatannya tidak akan merugikan jika Anda tetap melakukannya!” Pegawai itu melanjutkan sambil mengelosi jari-jari Tama dengan sesuatu. Sejenis gel yang terasa dingin.
Tama membungkuk sedikit ketika pegawai itu selesai membantunya.
“Kali ini, apa yang Anda inginkan?” Tanya pegawai itu.
“Ah, sebuket bunga apa pun untuk seorang teman yang sedang sakit. Dan beberapa kaktus untuk saya rawat di rumah!”
“Mohon tunggu sebentar!” Pegawai itu berlalu sesaat, meminta seorang pegawai yang lain menyusun buket bunga untuk Tama sementara dia sendiri menyiapkan beberapa kaktus.
Dalam beberapa menit, Tama mendapatkan sebuket lily dan paper bag dengan kotak-kotak kecil berisi kaktus.
“Semoga teman Anda cepat sembuh! Dan kaktus itu, meskipun kelihatannya mudah di pelihara, tapi ketika ia tidak berada di tempat an kondisi yang tepat untuknya, dia juga akan ati dengan mudah!”
***
Miyata baru saja menyelesaikan pemeriksaannya ketika Tama sampai. Tanpa permisi, Tama mengganti bunga dalam vas.
Tama tidak memperlihatkan senyumnya. Hanya wajah yang seperti biasanya. Terkadang ia nampak sedang berfikir. Tapi mengelak ketika Miyata mencoba mencari tahu.
Hari berikutnya pun begitu. Tama dan datang saat istirahat siang. Miyata sudah membaik, bahkan akan pulang besok. Tama hanya mengobrol seenaknya dan mengajak Miyata berkeliling di taman rumah sakit. Selain itu tidak ada.
Tama terlihat sudah mulai mengontrol dirinya sendiri. Tidak ada kata dalam otaknya yang mampu Miyata tarik keluar.
Hingga saat Miyata keluar dari rumah sakit dan Tama menjemputnya.
“Kamu pasti bertanya-tanya. Apakah aku harus menjawabnya?”Tama menyodorkan ice cream ke hadapan Miyata.
“Hm. Aku bertanya-tanya memang. Tapi kamu tidak harus menjawabnya kok. Ada banyak hal yang tidak bisa kita ungkapkan!” Miyata meletakkan tangannya di atas kepala Tama, mengelus rambutnya.
Tama tersenyum, membuat Miyata tersentak. Tama benci jika ada yang mengusik rambutnya, tapi kali ini Tama hanya menerimanya. Dan lagi, senyumannya itu, begitu manis.
Semilir angin yang datang dari arah utara, Tama memejamkan matanya dan membiarkan angin merasuki hatinya. Aroma bunga-bunga dari toko bunga di seberang jalan, persis di depan taman ini, tempatnya beberapa hari ini menepi dan meresapi arti hidup dari bunga-bunga itu, menyebar hingga menenangkan hatinya.
Tama takut. Benar. Gelisah. Iya.
Rasanya ingin meninggalkan tempatnya berpijak, mencuri sayap burung-burung dan terbang ke langit. Tapi Tama tau ada yang mungkin dan tidak mungkin dalam kehidupan. Ada hal-hal yang bisa saja dilakukannya, tapi dengan konsekuensi yang mungkin tidak akan sanggup dipikulnya.
Melihat orang yang mulai ia cintai tersakiti, melihat kecemasan ibunya, melihat kekecewaan gaya, melihat bagaimana jika nanti ayahnya malu, melihat bagaimana jika Hikaru marah. Terlalu banyak hal yang harus dipikulnya untuk satu alasan yang sama.
Ketika mencoba memberontak, Tama hanya ingin melihat seberapa jauh dirinya bisa berjalan. Tapi ternyata ia menemukan persimpangan dan kebingungan.
Dalam kehidupan bunga-bunga, mereka mekar bukan untuk dirinya sendiri. Nektar untuk lebah, akar bukan hanya untuk mencari air, tapi juga menyimpannya, memupuk tanah, memperindah taman. Bersinergi dengan kupu-kupu dan burung-burung, mereka memilih untuk mekar dengan begitu cantiknya.
Bahkan ketika kaktus hidup di gurun, mereka juga berdiri kokoh untuk orang-orang yang kehausan. Memindahkan mereka ke tempat yang lebih banyak air, mungkin sekian waktu akan membuat mereka terlihat lebih mudah untuk tumbuh, nyatanya mereka akan mati dan membusuk.
Gaya mencoba melindunginya selama hidupnya. Tugasnya sebagai kakak. Ayah dan ibunya, mencemaskan masa depannya, mencoba menemukan tempat terbaik untuknya. Meskipun itu mengurungnya, Tama juga bisa melihat mata mereka yang memandang kepadanya.
Kehidupan yang baik ketika mereka tidak lagi di sampingnya. Mencarikan orang yang tepat untuk melanjutkan tugas mereka.
Sebenarnya, Tama mulai mengerti.
Tama tersenyum sekali lagi, membuka matanya dan menemukan Miyata menatapnya terpesona.
“Tatap aku sesukamu, tapi jangan menggenggam tanganku!” Tama meraih tangan Miyata yang mengelus rambutnya, lalu meletakkannya di bangku taman.
“Kenapa?” Miyata mencoba menggerakkan tangannya untuk kembali menyentuh Tama, tapi Tama menolaknya.
“Karena itu tugas orang lain!” Tama menjawab sambil memalingkan wajahnya.
Miyata menarik tangannya kembali, tersenyum pahit. Ia sudah mengerti sekarang.
“Terimakasih banyak. Aku melihat banyak hal denganmu. Tapi bagaimana pun aku tidak bisa bertahan hanya dengan kakiku sendiri. Aku akan menikah bulan depan!” Tama kembali menoleh, membiarkan Miyata melihat wajah penuh airmatanya kali ini saja.
Miyata tersenyum. Masih getir.
“Apa pun. Jika itu keputusanmu sendiri, aku akan mendukungmu. Aku tau aku tidak akan bisa membawa seekor lumba-lumba berlarian di jalanan. Tapi jika dia sendiri yang memilih untuk tinggal di kolam dan bukan lautan, aku akan datang untuk melihatnya bahagia!”
***
Tama meletakkan pot kecil berisi kaktus itu di meja yang menghadap jendela kamarnya. Hari ini cerah dengan angin yang sejuk.
Di langit, beberapa ekor burung mengepakkan sayapnya. Terlihat kecil, tapi Tama melihat perjuangan mereka. Saling menjaga. Jika sang anak keluar dari barisan, maka keluarganya tidak akan bisa menjaganya lagi.
“Tama, ayo!” Gaya menariknya keluar.
Tama hanya mengikuti, sebelum kembali menoleh dan melihat rangkaian bunga matahari kiriman Miyata. Dia belum mampu datang di hari pernikahannya, dan Tama mengerti. Tidak ada yang mudah di antara mereka berdua.
Hingga Tama melangkahkan kakinya keluar dari pintu, dan kenangan di belakang sana harus ditinggalkannya. Masa lalu, seindah apa pun dia, tetap bukan lagi miliknya.
-END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar