Kamis, 01 Januari 2015

Rain and Sun Flower



Rain and Sun Flower.

*Impian-impian di sebuah toko bunga*
> Bagian yang satu tidak berhubungan dengan bagian yang lain. Dengan kata lain, cerita di setiap bagian tidak berhubungan dengan bagian yang lainnya <

I *Aran* (Abe Aran, Morita Myuto, Miyachika Kaito, Shimekake Ryuya, Travis Japan*Johnny’s Jr*)




Ini seperti aku tidak pernah memahamimu. Ini seperti aku tidak pernah mendengar suaramu. Ini seperti aku tidak pernah bertemu denganmu. Ini seperti aku tidak pernah melihatmu. Ini seperti aku tidak pernah mengenalmu.

Ini, seperti aku tidak pernah jatuh cinta padamu.

...

Ada waktu dimana aku ingin sendiri. Benar.

Dan aku akan menyingkir dari kehidupan di sekitarku. Mencari duniaku sendiri. Mencari tempat untuk menikmati nafasku sendiri.

Tapi aku kesepian pada akhirnya.

Ada waktu dimana aku butuh sendiri.

Lalu aku akan menemukan diriku berada di tempat lain di antara orang-orang. Bahkan etika mereka berbicara atau berlalu-lalang di sekitarku. Gedung-gedung yang menjulang, ketika aku melihat ke atas, langit nampak kecil sebatas lingkaran di atas kepalaku.

Aku tidak kesepian saat itu.

Tapi aku merasa hidupku sesak. Begitu sempit dan terbatas. Kosong. Hambar. Hari-hari yang sama dengan warna dan cerita yang sama.

Aku tidak bisa menangisi apa pun yang telah menjadi keputusanku.

Ya. Semua airmataku telah kugunakan untuk menangisimu berbulan-bulan. Hingga mengering. Kini aku butuh entah berapa lama untuk mengumpulkan keberanianku, keberanian untuk menangis. Menggambarkan apa yang ada dalam hatiku.

Tangis anak-anak yang jujur. Tangis seperti itu, tangis berharga yang tidak pernah kumengerti.

Langit mendung dan awan gelap bergerak seolah akan menelan puncak-puncak gedung. Nyala lampu menjadi temaram begitu hujan deras menghasilkan kumpulan kabut.

Bulan ke tiga puluh satu dan aku masih menghilang di antara orang-orang. Transparan.

Mereka lewat seperti kupu-kupu meninggalkan kepompong.

Sementara aku hanya penonton musiman.

Baliho di perempatan tertelan hujan. Aku nyaris tidak bisa melihatnya lagi. Lampu merah-kuning dan hijau berkedip bergantian, menunjukkan nyawa kota yang mati suri ketika hujan selebat ini turun tanpa peringatan.
Mungkin ini mendekati badai.

Angin kencang menggoyangkan pohon-pohon sementara bunga-bunga di tepi jalan bertumbangan. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri mereka meskipun ini belum benar-benar sebuha badai.

Emperen toko bunga tempatku bekerja semakin ramai dengan orang-orang yang sekedar berteduh. Beberapa memilih memasuki toko dan melihat-lihat.

Aku sama sekali tidak merasa ramai.

Seorang pelanggan setia datang tepat pukul empat seperti biasanya. Dalam tiga bulan ini, setiap hari dia akan datang tepat pukul empat, membeli sebuket mawar merah untuk hari senin, bunga matahari pada hari selasa, lily putih pada hari rabu, tulip pada hari kamis, mawar putih pada hari jumat, krissan pada hari sabtu, dan bahkan ketika hari minggu toko libur, dia memesan dandelion.

Aku yang biasanya bekerja dari jam tiga hingga toko tutup pada jam sepuluh malam hampir selalu menemukannya ada di toko ini.

Dan hari ini wajahnya sangat cerah.

“Anda sedang bahagia, Kawashima san?” Miyachika yang hari ini bertugas sebagai kasir tersenyum ramah dan sedikit berbincang dengannya.

Sementara aku berdiri tidak jauh, hanya semeteran dari mereka, merangkai bunga pesanan pelanggan yang lain.

Kulihat dari cermin di depanku, Kawashima Noel, laki-laki itu, tersenyum secerah seratus ribu watt, membuatku silau. Bunga mawar putih yang didekapnya menguarkan bau harum. Aku yang merangkainya.

“Benar, aku akan menikah minggu depan. Ah, kalian harus datang. Itu pada hari minggu jadi kalian pasti sedang libur kan?” Jawabnya penuh semangat.

Ah, menikah rupanya.

“Benrakah? Omedetou! Anda pasti bahagia sekali!” Miyachika menunjukkan ekspresi bahagianya. Karyawan lain pun begitu. Bersiul riuh.

“Ah, jadi, bisakah .... yah, meskipun mendadak, aku butuh buket mawar putih, juga cukup banyak bunga untuk mendekorasi pesta kami ....?”

Dan obrolannya berlanjut hingga entah kemana, aku memilih melayani pelanggan lain.

Hujan berubah menjadi gerimis setelah hampir dua setengah jam. Dan setelah satu jam lewat, gerimis masih menguasai kota.

Miyachika menyodorkan secangkir coklat panas padaku. Di jam istirahat, menyenangkan menikmati suasana dingin bekas hujan dengan secangkir coklat panas. Itu seperti menamparku untuk melihat sekeliling dan menemukan penggantiu.

Kamu tidak akan keberatan kan?

Kawashima Noel itu, dia akan menikah dan nampaknya dia bahagia. Aku juga ingin bahagia. Seperti ketika kamu membawaku berkencan seharian hingga malam yang dingin, mengajakku menikah di atas perahu saat kita menikmati langit malam di teengah danau.

Ingat? Kamu sampai menceburkan dirimu saat aku mengatakan aku akan menikah denganmu.

Tapi waktu berlalu dan hanya dingin yang kita temui.

Seorang laki-laki masuk dengan tubuh nyaris basah. Miyachika yang sedang menikmati suapan terakhirnya berniat menyambut, tapi aku memintanya menyelesaikan makan malamnya.

“Selamat datang, apakah Anda baik-baik saja?” Tanyaku berusaha seramah mungkin.

Wajahnya suram.

“Tidak!” Jawabnya.

Aku meraih setangkai lily dari vas, menyodorkan padanya.

“Ini akan membuat tidur Anda nyaman. Semoga besok pagi perasaan Anda menjadi lebih baik!”Ucapku.

Dia ragu, tapi menerimanya dengan tangan gemetaran.

Dia .... seperti aku beberapa bulan lalu. Saat aku kehilanganmu.

Tidak tau harus bagaimana.

Sekali lagi. Kuberikan setangkai bunga matahari yang belum sepenuhnya mekar kepadanya.

“Ini. Orang yang Anda sayangi, meskipun tidak bersama Anda sekarang, akan menerangi Anda sehingga Anda tidak merasa sendirian. Bunga ini hanya setangkai, tapi dia memberikan banyak biji. Itu akan memberikan kebahagiaan yang cerah di musim berikutnya!”

Entah bagaimana ... matanya membuatku ingin mengulurkan tanganku.

Dia tersenyum. Sedih.

“Terimakasih. Ah, dan ... aku tadi kesini untuk sebuket  krissan putih dengan beberapa mawar merah muda!”

***

Pagi lainnya datang dan aku begitu ingin mengetahui kabarnya. Sejak malam itu dia tidak pernah datang lagi.
Tapi kenapa aku seolah merindukannya.

Merindukan matanya.

Merindukan wajahnya.

Merindukan suaranya.

Ini ... seperti aku tidak pernah memiliki ingatan tentangmu.

Ini ... seperti aku tidak pernah menangisimu.

Kenapa?

“Haaaaaahhhh .... ini seperti benar-benar sebuah kesia-siaan! Aku mengharapkannya sepanjang tahun tapi dia tidak pernah melihatku!” Miyachika sedang curhat.

Hanya ada kami berdua hari ini. Shime sedang pergi mengantar pesanan sementara Kaji izin sakit.

“Lalu lihatlah sekelilingmu, pasti ada orang lain kan?” Jawabku.

Akhir-akhir ini aku mulai membuka diri.

Iya, seperti aku tidak pernah hampir melompat dari atap untuk menyusulmu.

“Apanya? Yang ada di sekelilingku cuma kamu Aran!” Jawabnya mulai jutek.

Biasa. Setiap kali patah hati.

Shime datang sebelum kami sempat adu mulut. Wajahnya kesal. Jelas sekali.

“Kenapa?” Miyachika sepertinya mulai lupa lagi kalau sedang patah hati.

“Haaahhhh .... pelanggan satu ini benar-benar gila! Bayangkan sudah sebulan ini aku harus mengantarkan bunga pesanannya!” Ocehnya kesal.

“Bukannya itu wajar?” Aku ikut bertanya sambil menata beberapa bunga matahari.

“Itu wajar kalau aku mengantarkannya untuk orang hidup. Masalahnya dia mengirimnya pada orang yang sudah mati!”

Deg.

Jawaban Shime membuat tanganku berhenti bekerja.

“Aran, besok, kamu saja yang antar ya!” Mintanya.

Dan seperti itulah ceritanya. Sekarang aku berdiri di depan sebuah nisan. Ada tumpukan bunga di sana. Yah, itu yang dantar Shime kemarin, kemarinnya, dan kemarinnya lagi.

Aku mengatupkan kedua tanganku.

Orang ini pasti sangat berharga. Orang yang mencintanya selalu mengirimkan bunga meskipun ia sudah tidak ada.

Hei. Aku merasa seakan langit di atas kepalaku menjadi sangat luas. Seperti aku telah menemukan kembali jalan keluar.

Seolah aku tidak pernah menggenggam tanganmu di saat terakhir.

Kuletakkan buket bunga matahari itu.

“Semoga kamu senang. Ini dari oarng yang mencintaimu. Sinari hatinya dan bantu dia agar tidak merasa kesepian!” Ucapku seorang diri.

Aku berbalik, dan saat itu kutemukan dia, pelanggan di malam gerimis itu berdiri menatapku. Di tangannya, kotak berisi kue.

“Ah, kamu yang waktu itu ya?” Tanyanya.

Aku mengangguk.

Ah. Dia terlihat lebih baik.

“Terimakasih banyak, aku benar-benra bisa tidur malam itu dan perasaanku membaik besoknya!” Ucapnya 
sambil meetakkan kotak kue itu, membukanya, lalu menyalakan lilin di atasnya.

“Duduklah, ayo merayakan ulang tahun bersama!” Lanjutnya.

Aku menurut, berjongkok di sampingnya, menghadap ke nisan.

“Hei sayang, hari ini cerah seperti bunga matahari. Apakah kamu suka bunga-bunga yang aku kirimkan? Kamu berusia dua puluh tahun hari ini. Waahhh ... cepat sekali ya, sudah tiga bulan aku tidak bisa melihatmu. Tapi jangan takut, aku akan tetap mengingatmu!” Ucapnya di depan nisan itu.

Aku menatapnya sendu. Airmataku menetes.

“Ini hari terakhir aku mengirimkan bunga untukmu. Aku tidak mau lebih lama mengganggumu dengan kesedihanku. Aku akan baik-baik saja jadi kamu tidak perlu mencemaskanku lagi. Selamat ulang tahun!” Lanjutnya lalu meniup lilin itu.

 Aku merasakan sesak di dadaku.

Ah, dia memperlihatkan langit yang luas padaku. Caranya melepaskan orang yang dicintainya membuatku sadar betapa bodohnya au yang hanya bisa menagisimu.

***

“Jadi, seharusnya kalian hidup bahagia seperti dalam dongeng!” Aku tersenyum memandangnya.

Dia menungguiku yang menangis hampir sejam lalu kami saling bercerita.

“Iya, seharusnya. Aku seperti seekor kodok yang berubah menjadi pangeran. Menemukan putri yang cantik  dan kami saling jatuh cinta lalu menikah. Seharusnya seperti itu ya!” Celotehnya.

Aku mengangguk.

“Hm, aku juga. Cinderella akhirnya bertemu pangeran, menikah dan hidup bahagian selamanya. Tapi dia meninggalkanku selamanya. Apakah terdengar menyedihkan?” Sahutku.

“Iya. Setidaknya aku sudah pernah menikahi sang putri ya? Aku lebih beruntung?” Dia bercanda saat matanya memerah menahan tangis.

Aku mencoba tertawa meskipun airmataku tumah lagi.

“Hei Myuto, ayo berbagi kisah lagi!” Kataku kemudian.

Dia; Myuto mengangguk.

Lalu kami berbagi lebih banyak kisah. Di depan nisan dengan hiasan bunga matahari, seolah orang-orang yang kami cintai duduk dan bercerita bersama kami.

Mungkin, di hari lain entah kapan, kami akan bercerita tentang kisah kami sendiri.

*END*

31 Desember 2014
03:05

Yang datang dalam hujan, secerah harapan di hari esok. Terimakasih telah menceritakan kisah bunga matahari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar