Rain and Sun Flower.
*Impian-impian
di sebuah toko bunga*
>
Bagian yang satu tidak berhubungan dengan
bagian yang lain. Dengan kata lain, cerita di setiap bagian tidak berhubungan
dengan bagian yang lainnya <
I *Aran* (Abe Aran, Morita Myuto,
Miyachika Kaito, Shimekake Ryuya, Travis Japan*Johnny’s Jr*)
Ini
seperti aku tidak pernah memahamimu. Ini seperti aku tidak pernah mendengar
suaramu. Ini seperti aku tidak pernah bertemu denganmu. Ini seperti aku tidak
pernah melihatmu. Ini seperti aku tidak pernah mengenalmu.
Ini,
seperti aku tidak pernah jatuh cinta padamu.
...
Ada
waktu dimana aku ingin sendiri. Benar.
Dan
aku akan menyingkir dari kehidupan di sekitarku. Mencari duniaku sendiri.
Mencari tempat untuk menikmati nafasku sendiri.
Tapi
aku kesepian pada akhirnya.
Ada
waktu dimana aku butuh sendiri.
Lalu
aku akan menemukan diriku berada di tempat lain di antara orang-orang. Bahkan
etika mereka berbicara atau berlalu-lalang di sekitarku. Gedung-gedung yang
menjulang, ketika aku melihat ke atas, langit nampak kecil sebatas lingkaran di
atas kepalaku.
Aku
tidak kesepian saat itu.
Tapi
aku merasa hidupku sesak. Begitu sempit dan terbatas. Kosong. Hambar. Hari-hari
yang sama dengan warna dan cerita yang sama.
Aku
tidak bisa menangisi apa pun yang telah menjadi keputusanku.
Ya.
Semua airmataku telah kugunakan untuk menangisimu berbulan-bulan. Hingga
mengering. Kini aku butuh entah berapa lama untuk mengumpulkan keberanianku,
keberanian untuk menangis. Menggambarkan apa yang ada dalam hatiku.
Tangis
anak-anak yang jujur. Tangis seperti itu, tangis berharga yang tidak pernah
kumengerti.
Langit
mendung dan awan gelap bergerak seolah akan menelan puncak-puncak gedung. Nyala
lampu menjadi temaram begitu hujan deras menghasilkan kumpulan kabut.
Bulan
ke tiga puluh satu dan aku masih menghilang di antara orang-orang. Transparan.
Mereka
lewat seperti kupu-kupu meninggalkan kepompong.
Sementara
aku hanya penonton musiman.
Baliho
di perempatan tertelan hujan. Aku nyaris tidak bisa melihatnya lagi. Lampu
merah-kuning dan hijau berkedip bergantian, menunjukkan nyawa kota yang mati
suri ketika hujan selebat ini turun tanpa peringatan.
Mungkin
ini mendekati badai.
Angin
kencang menggoyangkan pohon-pohon sementara bunga-bunga di tepi jalan bertumbangan.
Orang-orang berlarian menyelamatkan diri mereka meskipun ini belum benar-benar
sebuha badai.
Emperen
toko bunga tempatku bekerja semakin ramai dengan orang-orang yang sekedar
berteduh. Beberapa memilih memasuki toko dan melihat-lihat.
Aku
sama sekali tidak merasa ramai.
Seorang
pelanggan setia datang tepat pukul empat seperti biasanya. Dalam tiga bulan
ini, setiap hari dia akan datang tepat pukul empat, membeli sebuket mawar merah
untuk hari senin, bunga matahari pada hari selasa, lily putih pada hari rabu,
tulip pada hari kamis, mawar putih pada hari jumat, krissan pada hari sabtu,
dan bahkan ketika hari minggu toko libur, dia memesan dandelion.
Aku
yang biasanya bekerja dari jam tiga hingga toko tutup pada jam sepuluh malam
hampir selalu menemukannya ada di toko ini.
Dan
hari ini wajahnya sangat cerah.
“Anda
sedang bahagia, Kawashima san?” Miyachika yang hari ini bertugas sebagai kasir
tersenyum ramah dan sedikit berbincang dengannya.
Sementara
aku berdiri tidak jauh, hanya semeteran dari mereka, merangkai bunga pesanan
pelanggan yang lain.
Kulihat
dari cermin di depanku, Kawashima Noel, laki-laki itu, tersenyum secerah
seratus ribu watt, membuatku silau. Bunga mawar putih yang didekapnya
menguarkan bau harum. Aku yang merangkainya.
“Benar,
aku akan menikah minggu depan. Ah, kalian harus datang. Itu pada hari minggu
jadi kalian pasti sedang libur kan?” Jawabnya penuh semangat.
Ah,
menikah rupanya.
“Benrakah?
Omedetou! Anda pasti bahagia sekali!” Miyachika menunjukkan ekspresi
bahagianya. Karyawan lain pun begitu. Bersiul riuh.
“Ah,
jadi, bisakah .... yah, meskipun mendadak, aku butuh buket mawar putih, juga
cukup banyak bunga untuk mendekorasi pesta kami ....?”
Dan
obrolannya berlanjut hingga entah kemana, aku memilih melayani pelanggan lain.
Hujan
berubah menjadi gerimis setelah hampir dua setengah jam. Dan setelah satu jam
lewat, gerimis masih menguasai kota.
Miyachika
menyodorkan secangkir coklat panas padaku. Di jam istirahat, menyenangkan
menikmati suasana dingin bekas hujan dengan secangkir coklat panas. Itu seperti
menamparku untuk melihat sekeliling dan menemukan penggantiu.
Kamu
tidak akan keberatan kan?
Kawashima
Noel itu, dia akan menikah dan nampaknya dia bahagia. Aku juga ingin bahagia.
Seperti ketika kamu membawaku berkencan seharian hingga malam yang dingin,
mengajakku menikah di atas perahu saat kita menikmati langit malam di teengah
danau.
Ingat?
Kamu sampai menceburkan dirimu saat aku mengatakan aku akan menikah denganmu.
Tapi
waktu berlalu dan hanya dingin yang kita temui.
Seorang
laki-laki masuk dengan tubuh nyaris basah. Miyachika yang sedang menikmati
suapan terakhirnya berniat menyambut, tapi aku memintanya menyelesaikan makan
malamnya.
“Selamat
datang, apakah Anda baik-baik saja?” Tanyaku berusaha seramah mungkin.
Wajahnya
suram.
“Tidak!”
Jawabnya.
Aku
meraih setangkai lily dari vas, menyodorkan padanya.
“Ini
akan membuat tidur Anda nyaman. Semoga besok pagi perasaan Anda menjadi lebih
baik!”Ucapku.
Dia
ragu, tapi menerimanya dengan tangan gemetaran.
Dia
.... seperti aku beberapa bulan lalu. Saat aku kehilanganmu.
Tidak
tau harus bagaimana.
Sekali
lagi. Kuberikan setangkai bunga matahari yang belum sepenuhnya mekar kepadanya.
“Ini.
Orang yang Anda sayangi, meskipun tidak bersama Anda sekarang, akan menerangi
Anda sehingga Anda tidak merasa sendirian. Bunga ini hanya setangkai, tapi dia
memberikan banyak biji. Itu akan memberikan kebahagiaan yang cerah di musim
berikutnya!”
Entah
bagaimana ... matanya membuatku ingin mengulurkan tanganku.
Dia
tersenyum. Sedih.
“Terimakasih.
Ah, dan ... aku tadi kesini untuk sebuket
krissan putih dengan beberapa mawar merah muda!”
***
Pagi
lainnya datang dan aku begitu ingin mengetahui kabarnya. Sejak malam itu dia
tidak pernah datang lagi.
Tapi
kenapa aku seolah merindukannya.
Merindukan
matanya.
Merindukan
wajahnya.
Merindukan
suaranya.
Ini
... seperti aku tidak pernah memiliki ingatan tentangmu.
Ini
... seperti aku tidak pernah menangisimu.
Kenapa?
“Haaaaaahhhh
.... ini seperti benar-benar sebuah kesia-siaan! Aku mengharapkannya sepanjang
tahun tapi dia tidak pernah melihatku!” Miyachika sedang curhat.
Hanya
ada kami berdua hari ini. Shime sedang pergi mengantar pesanan sementara Kaji
izin sakit.
“Lalu
lihatlah sekelilingmu, pasti ada orang lain kan?” Jawabku.
Akhir-akhir
ini aku mulai membuka diri.
Iya,
seperti aku tidak pernah hampir melompat dari atap untuk menyusulmu.
“Apanya?
Yang ada di sekelilingku cuma kamu Aran!” Jawabnya mulai jutek.
Biasa.
Setiap kali patah hati.
Shime
datang sebelum kami sempat adu mulut. Wajahnya kesal. Jelas sekali.
“Kenapa?”
Miyachika sepertinya mulai lupa lagi kalau sedang patah hati.
“Haaahhhh
.... pelanggan satu ini benar-benar gila! Bayangkan sudah sebulan ini aku harus
mengantarkan bunga pesanannya!” Ocehnya kesal.
“Bukannya
itu wajar?” Aku ikut bertanya sambil menata beberapa bunga matahari.
“Itu
wajar kalau aku mengantarkannya untuk orang hidup. Masalahnya dia mengirimnya
pada orang yang sudah mati!”
Deg.
Jawaban
Shime membuat tanganku berhenti bekerja.
“Aran,
besok, kamu saja yang antar ya!” Mintanya.
Dan
seperti itulah ceritanya. Sekarang aku berdiri di depan sebuah nisan. Ada
tumpukan bunga di sana. Yah, itu yang dantar Shime kemarin, kemarinnya, dan
kemarinnya lagi.
Aku
mengatupkan kedua tanganku.
Orang
ini pasti sangat berharga. Orang yang mencintanya selalu mengirimkan bunga
meskipun ia sudah tidak ada.
Hei.
Aku merasa seakan langit di atas kepalaku menjadi sangat luas. Seperti aku
telah menemukan kembali jalan keluar.
Seolah
aku tidak pernah menggenggam tanganmu di saat terakhir.
Kuletakkan
buket bunga matahari itu.
“Semoga
kamu senang. Ini dari oarng yang mencintaimu. Sinari hatinya dan bantu dia agar
tidak merasa kesepian!” Ucapku seorang diri.
Aku
berbalik, dan saat itu kutemukan dia, pelanggan di malam gerimis itu berdiri
menatapku. Di tangannya, kotak berisi kue.
“Ah,
kamu yang waktu itu ya?” Tanyanya.
Aku
mengangguk.
Ah.
Dia terlihat lebih baik.
“Terimakasih
banyak, aku benar-benra bisa tidur malam itu dan perasaanku membaik besoknya!”
Ucapnya
sambil meetakkan kotak kue itu, membukanya, lalu menyalakan lilin di
atasnya.
“Duduklah,
ayo merayakan ulang tahun bersama!” Lanjutnya.
Aku
menurut, berjongkok di sampingnya, menghadap ke nisan.
“Hei
sayang, hari ini cerah seperti bunga matahari. Apakah kamu suka bunga-bunga
yang aku kirimkan? Kamu berusia dua puluh tahun hari ini. Waahhh ... cepat
sekali ya, sudah tiga bulan aku tidak bisa melihatmu. Tapi jangan takut, aku
akan tetap mengingatmu!” Ucapnya di depan nisan itu.
Aku
menatapnya sendu. Airmataku menetes.
“Ini
hari terakhir aku mengirimkan bunga untukmu. Aku tidak mau lebih lama
mengganggumu dengan kesedihanku. Aku akan baik-baik saja jadi kamu tidak perlu
mencemaskanku lagi. Selamat ulang tahun!” Lanjutnya lalu meniup lilin itu.
Aku
merasakan sesak di dadaku.
Ah,
dia memperlihatkan langit yang luas padaku. Caranya melepaskan orang yang
dicintainya membuatku sadar betapa bodohnya au yang hanya bisa menagisimu.
***
“Jadi,
seharusnya kalian hidup bahagia seperti dalam dongeng!” Aku tersenyum
memandangnya.
Dia
menungguiku yang menangis hampir sejam lalu kami saling bercerita.
“Iya,
seharusnya. Aku seperti seekor kodok yang berubah menjadi pangeran. Menemukan
putri yang cantik dan kami saling jatuh
cinta lalu menikah. Seharusnya seperti itu ya!” Celotehnya.
Aku
mengangguk.
“Hm,
aku juga. Cinderella akhirnya bertemu pangeran, menikah dan hidup bahagian
selamanya. Tapi dia meninggalkanku selamanya. Apakah terdengar menyedihkan?”
Sahutku.
“Iya.
Setidaknya aku sudah pernah menikahi sang putri ya? Aku lebih beruntung?” Dia
bercanda saat matanya memerah menahan tangis.
Aku
mencoba tertawa meskipun airmataku tumah lagi.
“Hei
Myuto, ayo berbagi kisah lagi!” Kataku kemudian.
Dia;
Myuto mengangguk.
Lalu
kami berbagi lebih banyak kisah. Di depan nisan dengan hiasan bunga matahari,
seolah orang-orang yang kami cintai duduk dan bercerita bersama kami.
Mungkin,
di hari lain entah kapan, kami akan bercerita tentang kisah kami sendiri.
*END*
31
Desember 2014
03:05
Yang
datang dalam hujan, secerah harapan di hari esok. Terimakasih telah
menceritakan kisah bunga matahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar