Sabtu, 31 Januari 2015

Thinking of you

***********


Bagaimana jika perasaan itu tidak pernah memiliki batasan, keterbatasan, atau bahkan kebebasan? 
Bagaimana kurungan yang melingkupiku akan berhamburan seperti partikel-partikel berkilauan, merobek cahaya, menerobos kegelapan, menjemput perasaanku yang jatuh terlalu dalam.

Yang membuatku berdiam dalam sangkarku, menatap keluar, langit-langit jauh berteralis, adalah nada-nada yang kamu perdengarkan. Aku menutup mataku dan begitulah kamu muncul di depanku. Melewati batas yang telah diciptakan, menerjang tembok yang telah didirikan, bertaburan cahaya dalam tarian-tarian bak angsa surga. Dengan senyuman yang menenangkan hatiku, mata yang menawarkan penghilang luka dan aroma yang menawarkan sebentuk candu.

Nada-nada yang tercipta setelah itu adalah thinking of you, berlarian di atas tuts-tuts piano, membelah hampa dalam perpaduan cello dan biola. Kamu adalah nada yang memperdengarkan lagu dalam kehidupanku. Terserah pada jeruji maupun sangkar emas yang mengurungku, dalam pengasuhan nada yang kamu ajarkan, aku terjebak untuk merantai diriku sendiri.

Orang-orang fikir ini bahagia, bagiku ini adalah tempat terbak untuk bisa terus melihatmu. Memiliki setiap nada yang memancar dari segenap kisahmu. Romantisme, hakikat, keceriaan remaja, sakitnya awal dewasa, semangat yang meluap, hingga pemberontakan menuju dewasa yang sesungguhnya.

Kita akan semakin menjadi tua, iya. Tapi nada-nada kita akan tetap sama, berlangsung selamanya. Selama nada itu terdengar atau diperdengarkan.

Petikan suara gitar dan senyumanmu yang duduk menopang dagu. Jemarimu yang menari memainkan nada untukku menyanyikannya, ah, jika kamu tau maka aku sangat bahagia. Bagiku, meskipun waktu berakhir hari ini, aku berterimakasih karena telah bertemu denganmu.

Katamu, kita hidup dalam sebuah rumah dengan pintu-pintu. Di sebelah kanan pintu dan di sebelah kiri pintu. Di depan pintu dan di belakang pintu. Bagimu kita adalah sebuah rumah untuk pulang, bukan penjara kamera seperti yang pada awalnya kufikirkan.

"Kenapa kita adalah sebuah rumah dengan pintu-pintu itu, Kei?" Tanya ku akhirnya. Berapa tahun kita ada di tempat yang sama, baru kali ini pertanyaan itu terlahir secara nyata.

"Karena kita adalah tempat untuk pulang. Ketika seseorang bersedih, mereka mendengarkan atau melihat kita, lalu mereka seperti menemukan rumahnya, keluarganya dan tersenyum bersama. Ketika salah seorang bahagia, kita semua bahagia. Kita berbagi banyak hal dan membagi banyak hal. Semua yang kita bagi itu menjadi sebuah pintu. Pintu yang menunjukkan kemana Yamada akan membeli kemejanya hari ini. Pintu menuju tempat Yuto memukuli drumnya seperti orang kesetanan. Pintu menuju tempat Keito yang sedang berlatih. Pintu menuju tempat dimana Chii ingin bermanja-manja. Pintu menuju tempat impian Daiki. Pintu menuju tempat yang ceria seperti Hikaru. Pintu menuju keinginan Yuya. Pintu untukku pulang dan pergi. Pintu untuk hati Yabu, juga ada di rumah kita!" Jawabmu.

Lilin yang menyala di tengah meja kita bertiup pelan. Dingin.

"Hm, kita adalah sebuah rumah. Terimakasih sudah membanginnya untukku!" Aku tersenyum padanya.

Rantai yang mengikat tubuhku, tiba-tiba berhamburan menjadi cahaya ketika kamu tersenyum di depanku. Tertawa perlahan sebelum menggeleng.

"Tidak, aku tidak membangunnya untukmu. Kita membangun rumah kita bersama-sama, dan tinggal di dalamnya bersama-sama!" Katamu.

Lagi, membuka jeruji yang melingkupiku.

"Ya Tuhan, kamu begitu bijaksana. Kenapa selama ini aku tidak menyadarinya?" Candaku.

"Aku cerdas, aku berfikir untuk menjadi lebih dewasa. Lihat, angka di atas kue ulang tahunmu. Kamu sudah tua tau, jadi cepatlah dewasa dan memperluas rumah kita!" Sahutmu.

Aku tertawa.

Dunia ini bukanlah sebuah kurungan lagi, itu hanya apa yang kufikirkan ketika seorang diri. Sekarang, kamu adalah penjaraku. Tempat dimana aku terkurung dan tidak bisa keluar lagi.

_END_

Waaahhhh .... ini langsung diketik di sini dan dipost begitu selesai ^_^ ! Bagaimana pun, selamat ulang tahun untuk HSJ no riida, Yabu Kota. Sudah 25 yaaaa ^_^ Saya harus bersiap-siap, menyiapkan hati saya karena mungkin kamu akan semakin dekat untuk menikah dan saya akan patah hati ^_^
Tuhan melihatku, melihatmu, melihat kalian, melihat kita. Semoga Dia melindungimu dengan kecerdasaan, menganugerahkan kedewasaan dan kebijaksanaan, menghadiahkan kebahagian, memperbanyak pengalaman, dan menunjukkan hal-hal luar biasa padamu. Amin.

Selasa, 27 Januari 2015

Oniichan Gacha

Ya ampun ini dorama apaan sih? Awalnya saya mikir gitu *laugh. => Ternyata keren. Alternative universe gitu, animasi banget, trus ceritanya juga unik. Nggak melulu love story atau school story kan, jadinya fresh.

Yang paling penting mah, banyak JOHNNY'S JR. nampang di situ. Baru nonton sampai episode tiga, emang baru nemu segitu sih, dorama baru juga, nggak sabar nunggu ep. depan, mau lihat Fukka :D Trus mau lihat Aran, Myuto sama Taiga.

Saya masih deman Haruka-Kanata nya Kin Kyori Renai season zero, ini ada Kishi Yuta sama Aran ganteng lagi >_<

Review:

Oniichan Gacha ep. 1

Cerita ini bermula di sebuah negeri entah berantah *kata saya* di sebuah gedung beberapa anak cewek sedang latihan balet gitu. Nah si tokoh utama, Miko, lagi nonton dan akhirnya ikutan les balet itu. Dibantu temannya, Yotsuba dia nyoba peregangan punggung sampai teriak-teriak gitu :D terus disapalah sama cewek kaya bernama Natsuko => Dia panggil dirinya sendiri Natsuko sama ... hadeeehhhh (-_-')

Nah, pas pulangnya hujan, semua anak cewek itu kecuali Miko dan Yotsuba dijemput kakak laki-laki mereka. Bahkan, Natsuko punya lima kakak cowok => Saya langsung mendapat menampakan Kaji ^_^

Nah, singkat cerita, kakak-kakak cowok itu adalah oniichan gacha gitu, jad mereka dari sejenis bola atau apa begitu yang direndam di bak mandi semalaman dan nggak boleh diintip. Ini adalah program profesor pemilik game center gitu. Di game center ini, ada Rei (Miyachika Kaito) yang jadi pegawai sekaligus asisten profesor.

Karena kesal sama keluarganya yang kaya'nya errrr banget, Miko pun beli satu gacha dan ngerendam gacha itu di kamar mandi, eh, besoknya munculnya Kishi Yuta yang kemudian dinamai Toy.

Review ep. 2

Di episode ini cuma gambarin awal pertemuan Miko sama Toy, trus gimana sih Toy itu => Miko beranggapan Toy ramah pada anggota keluarga yang lain selain dirinya, trus Toy yang ternyata S rank gitu. Miko awalnya mau balikin Toy ke profesor buat dibalikin jadi Gacha tapi nggak jadi, dan Toy bantu Miko buat menemukan kakak impiannya.

Ep. 3

Nah, di sini munculah Niko, si S rank yang katanya S untuknya adalah 'Smile', juga S yang bikin lima oniichannya Natsuko bahkan Toy sendiri nggak ngerti kenapa da bisa S rank :D *Mungkin karena cute.

Tapi di ending, Niko dibalikin lagi jadi Gacha.

Ok. Udah pusing deh ni Oniichan Gacha. Pokoknya saya harus update terus biar bisa putar gacha machine dan dapat Kirara sama Gentle ;D WWuakakakakakakkaka #Disepak

Senin, 12 Januari 2015

Rain and Sun Flower MiyaTama ver.



Rain and Sun Flower

*Impian-impian di toko bunga*
IV. Tama (Tamamori Yuta, Miyata Toshiya, Kis-my-ft2, Yaotome Hikaru)


Berdiri dengan kokoh dan menatap angkuh. Wajahnya yang cantik dengan bibir yang dimanyunkan sedikit, menunjukkan ketidaksukaannya pada orang yang ada di depannya kini.

Bagi Tama, kesialan terbesar dalam hidupnya adalah hidupnya sendiri.

Tama sempurna. Begitu yang akan orang katakan. Lahir dalam keluarga yang akan melimpahinya dengan harta, dididik penuh keanggunan yang menurutnya sekedar omong kosng tentang sopan santun, kakak yang memanjakannya hingga ia nyaris sesak nafas, kecantikan yang menyihir mata hingga orang-orang terus memperhatikannya, dan semenjak setahun belakangan, orang bodoh yang mengejar-ngejarnya seperti maling.

Bosan. Tama bosan dengan hidupnya yang seperti cerita dongeng. Kakaknya memang mengatakan bahwa Tama adalah putri dari negeri dongeng, tapi Tama ingin mencoba hidup seperti dalam film action yang mendebarkan.

Hidupnya berjalan seolah rencana yang dipaparkan di muka umum. Lahir dalam kebahagiaan, dibesarkan dalam kemanjaan, sekolah di tempat yang baik, hidup dalam pengawasan, dan nantinya Tama akan menikah dengan orang yang sudah ditentukan keluarganya.

Apa lagi yang menjadi rahasia?

“Kamu fikir aku apa? Menerima coklat darimu tujuh hari dalam seminggu akan membuatku menjadi badut bulan depan!” Tama menaikkan volume suaranya.

Miyata hanya tersenyum bodoh seperti biasanya.

Apakah dia tidak mengerti Tama menolaknya mentah-mentah? Tama tidak berada dalam jangkauannya.

“Aku tida tau itu. Baiklah, besok akan kubawakan yang lain!” Miyata menjawab seolah Tama tidak memberinya tatapan meremehkan.

Miyata bekerja di perusahaan pengiriman yang dipimpin Gaya, kakak Tama sejak tahun lalu dan semenjak itu juga terus mengejar-ngejar Tama. Entah bagaimana dari sekian perusahaan milik keluarganya Miyata justru terdampar di tempat yang paling sering dikunjunginya.

Yang membuat Tama lebih kesal pada Miyata adalah kenyataan bahwa Gaya sama sekali tidak terpengaruh rayuannya untuk menendangnya dari perusahaan.

“Terserah! Menyingkir! Aku akan mengadukanmu pada kakakku!!” Tama kali ini benar-benar berteriak, berjalan hingga menubruk bahu Miyata dan bergegas menuju ruanga Gaya.

‘Brak’

Dan seperti biasa ketika kebiasaannya datang ke ruangan kakaknya, Tama membanting pintu dan melempar tasnya ke lantai. Guci yang baru saja Gaya letakkan di ruangannya, hadiah dari temannya di Cina hancur karena Tama melemparkan vas tepat di bagian tengahnya.

Gaya yang sedang berbicara dengan Hikaru melalui telfon hanya menatap Tama sebentar sebelum mengatakan pada Hikaru untuk menelfon lagi nanti.

“Itu guci baru dan sangat mahal!” Gaya berkomentar pelan sebelum menelfon ibunya.

“Ma, Tama mengamuk lagi di kantorku!” Lalu menutup telfonnya begitu saja karena Tama sudah merebutnya dan melemparnya ke sofa.

Gaya tidak bisa marah pada adik semata wayangnya. Taa selalu berhasil membuatnya emosi tapi juga membuatnya tidak berkutik.

“Makhluk menyebalkan itu, kenapa tidak kakak lempar saja dia ke laut atau kirim sekalian ke planet Mars! Aku muak melihatnya!!” Tama berteriak sebelum membanting tubuhnya ke sofa dengan nafas memburu.

Emosinya semakin tidak terkontrol menjelang hari pertunangannya.

“Kenapa lagi dengan Miyata? Dia merayumu lagi?” Gaya bertanya santai.

“Lalu kamu membiarkannya? Kalian akan .... aku .... bertunangan ... dia ... !” Tama mulai gemetaran. 

Ditekuknya kedua kakinya hingga naik ke sofa, membuatnya duduk meringkuk.

Gaya mengambil nafas panjang..

“Karena kami yakin kamu akan bertunangan dengan Hikaru sesuai rencana, menikah sesuai yang kami katakan, Miyata bukanlah sebuah ancaman. Dia tidak membuatmu membangkang kan?” Gaya Menyahut  setelah Tama mulai tenang.

Tama hanya membuang muka.

Selalu seperti itu.

Apa pun yang dikatakannya tidak akan menjadi pertimbangan. Jika perlu, ia tidak perlu bicara sekalian.

“Hikaru ingin makan malam denganmu nanti. Bersiaplah!” Gaya memberikan perintahnya sambil kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya.

“Jangan memerintahku! Aku bukan bawahanmu!” Tama menghempaskan kakinya kembali ke lantai.

“Kamu adikku! Bawahanku bisa menolak perintahku tapi kamu tidak, Tama! Hidupmu,adalah seperti apa yang aku, ayah dan ibu kita katakan. Semuanya akan baik-baik saja selama kamu menurut!” Gaya kembali pada ‘hukum’ dan ‘perundang-undangan’ hidupnya, membuat Tama semakin kesal dan segera pergi dari ruangan itu.

Tak lama, karena dalam hitungan ke sepuluh Tama masuk lagi untuk mengambil tasnya, menarik dompet  Gaya dan mengambil kartu kredit.

***

Tama terus menarik Miyata sejak dari kantor, membawanya berjalan entah kemana. Miyata yang diseret seperti paper bag kosong hanya menurut. Yang ia tau Tama sedang tertekan tapi tidak bisa melampiaskannya.

Tama yang angkuh hanya sebuah topeng untuk menutupi kelemahannya. Dia hanya tidak ingin orang-orang melihat kelemahannya. Setiap kemarahan dan wajah dingin yang ditunjukkannya hanya bentuk pertahanan dirinya.

Miyata bisa membacanya semenjak pertama kali bertemu Tama, bahwa Tama merasa sendirian, kesepian, kosong dan kebingungan.

Hidup seperti boneka adalah sebuah jalan berbentuk lingkaran yang tidak akan membawamu keluar dari sangkar.

Itu. Seperti perumpamaan itu.

Benar-benar seperti itu.

Jika Miyata bisa mengatakan apa yang sedang dirasakannya, pergi kemana pun yang ia mau selama ia bisa, maka Tama harus patuh dan melakukan apa yang dikatakan padanya, diam di tempatnya seumur hidupnya.

“Aku .... lakukan apa pun agar aku bisa merasakan keberadaanku sendiri!” Tama berkata seolah memberi Miyata perintah.

Tapi Miyata mengerti begitulah cara yang difahami Tama untuk meminta pertolongan.

Tama mendudukkan dirinya di atas rumput. Matahari di atas sana menaburinya dengan cahaya, membuatnya berkilauan. Matanya sayu menatap aliran air.

Kemana air akan pergi? Haruskah ke laut?

Miyata membungkuk, meletakkan kedua telapak tangannya di pipi Tama, menghadapkan wajah sepi itu padanya.

“Tidak apa-apa, meskipun orang lain tidak bisa melihatmu, aku pasti bisa menemukanmu!” Miyata berkata lembut.

Tama menatapnya tidak mengerti, hingga Miyata mengatukan kedua bibir mereka. Dalam satu ciuman yang lembut.

Selanjutnya Tama membiarkan Miyata membawanya kemana pun. Makan di kedai murah, bermain di taman seperti anak kecil, hingga bertaruh siapa yang akan sampai di seberang jalan ketika seorang laki-laki tambun dan nenek-nenek menyeberang.

Hal-hal konyol yang membuat Tama tertawa. Nyaris melupakan apa pun yang mengaturnya sebelum ini.
Juga bahwa Hikaru menunggunya jam delapan nanti.

“Kenapa di saat seperti ini hujan sih?” Tanya Tama saat melihat pakaiannya hampir basah separuhnya.

“Loh, kamu tidak melihat ramalan cuaca ya?” Miyata menepuk-nepuk jeansnya.

“Apa pentingnya yang seperti itu!” Tama mencibir.

Miyata hanya tertawa garing. Mungkin sebelumnya Tama tidak perlu memperhatikan hal-hal seperti ini.
Saat Miyata kembali menoleh pada Tama, mata Tama sudah sibuk menjelajahi bunga-bunga yang ditata rapi di emperan toko bunga ini.

Warna-warna bunga membuat tempat ini nyaman. Harumnya juga terasa hangat.

“Mau masuk? Sebagai pengganti coklat, aku akan memberimu bunga!” Miyata menawari.

Tama meliriknya sekilas.

Wajahnya seolah tidak tertarik, tapi kurang dari semenit, Tama sudah memasuki toko itu terlebih dahulu.

Berbagai jenis bunga menyapa mereka begitu masuk.

Pencahayaan yang manis dan bunga-bunga yang ditata rapi membuat ruangan luas dengan sekat-sekat kaca atau rak berisi bunga membuatnya seperti taman bunga yang  indah.

Seorang pegawai menyapa mereka dan menawarkan bantuan, tapi Miyata mengatakan bahwa ia ingin melihat-lihat dulu. Memberikan waktu bagi Tama untuk melihat sekeliling. Pegawai itu tersenyum sopan lantas mengatakan untuk mengatakan pada pegawai jika mereka menginginkan bunga atau memiliki pertanyaan.

Tama tersenyum tanpa sadar saat melihat beberapa tangkai bunga matahari tertata di sebuah vas besar ditemani beberapa bunga lain.

“Ah! Aku ingin yang itu!” Miyata segera menunjuk bunga-bunga itu, membuat Tama menatap sewot padanya.

***

Tama membuang muka. Menatap jenuh pada lampion-lampion dengan lampu kekuningan berbagai bentuk yang tergantung di langit-langit kamarnya. Kamarnya seolah berwarna keemasan karena itu, bercampur suasana yang seperti dunia dongeng.

Pipinya terasa panas. Sudah sangat lama sejak tamparan terakhir mendarat di pipinya. Sepertinya Gaya menggunakan hampir seluruh tenaganya untuk menampar Tama hingga terlempar membentur ke ranjang. Berita baiknya, kepalanya membentur tepian kasur sehingga Tama tidak benar-benar terluka.

“Kita akan membicarakan ini besok pagi!” Gaya memberi keputusan setelah Tama hanya diam tanpa menjawab satu pun pertanyaannya, tidak memberikan alasan mengapa tidak datang untuk makan malam bersama Hikaru tanpa memberi kabar.

Tama mengangkat wajahnya setelah Gaya keluar dari kamarnya. Beberapa pelayannya mendekat, mencoba membantu Tama bangun.

“Keluar!” Perintahnya.

“Tapi Anda terluka!” Salah satu pelayannya mencoba membantu tapi Tama segera menepisnya.

“KELUAR!!!”Teriaknya hingga para pelayan itu berhamburan keluar.

Tama tersenyum.

Bagus sekali. Ini adalah pemberontakannya yang pertama.

Kedua orangtuanya sepertinya masih menyerahkan semuanya pada Gaya. Ayahnya tidak merespon sama sekali.

Rasanya seperti ada yang menantangnya untuk membuat Gaya lebih arah lagi.

***
“Gaya menamparmu?” Miyata hampir tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan Tama.
Tama terlihat biasa saja, seolah tidak terjadi apa pun dan tetap mengamati buket-buket bunga yang disusun rapi di toko kemarin.
Ia memutuskan datang lagi ke sini.
Menemukan hal-hal sederhana yang mungkin tidak pernah difikirkannya.
“Apakah sakit?”
Miyata mengelus pipi Tama dan Tama hanya tersenyum, menyingkirkan tangan Miyata lalu meletakkan tangannya di antara bunga-bunga.
“Sakit? Apakah yang disebut sakit sesederhana itu? Aku terkurung seumur hidupku dan itu lebih menyedihkan!” Tama berujar santai.
“Bunga apa yang membuatku akan bersemangat?” Tama bertanya pada seorang pegawai yang sedang menata bunga menjadi rangkaian yang cantik dengan pita ungu.
Tama tidak melihatnya kemarin. Sepertinya pegawai ini masih remaja.
“Ah, bunga matahari. Bagi saya, bunga matahari menggambarkan semangat untuk menantang siang, tegak menghadap matahari. Mungkin terlihat sedikit bodoh, tapi itu kebahagiaan sederhana yang tidak semua orang sadari!” Pegawai itu menjawab sambil tersenyum.
“Haaa, seperti itu? Kalau begitu berikan au bunga matahari yang bagus!” Pinta Tama.
“Tentu saja!”
“Menantang siang, tegak menghadap matahari?” Tama berguman sendiri.
Miyata hanya menggeleng di sampingnya. Sadar bahwa Tama berencana untuk menantang keluarganya.
Dan benar.
Esok paginya Gaya menghajarnya habis-habisan karena berfikir Miyata yang mempengaruhi Tama untuk mengatakan tidak menginginkan pertunangan apalagi pernikahannya dengan Hikaru di depan Hikaru dan keluarganya.
***
“Bagus sekali! Sepertinya aku membuatmu nyaris mati sekarang!” Tama mendudukkan dirinya disatu-satunya kursi yang tersisa di ruang rawat tempat Miyata terpaksa menginap. Menyilangkan kakinya dan menatap Miyata tajam-tajam.
Tama seperti tidak bisa melihat makhluk lain yang juga sedang bersemanyam di ruang ini. Tentu saja, ada beberapa teman kantor Miyata yang membawa Miyata ke rumah sakit setelah Gaya membuatnya hampir mati.
Miyata masih berusaha tersenyum, membuat Tama memalingkan wajahnya. Airmatanya justru tidak bisa ditahan jika pemuja terang-terangannya itu masih bisa tersenyum padahal tubuhnya babak belur.
“Tubuhku sakit semua, jika kamu menangis, aku akan lebih sakit, Tama!” Miyata berkata pelan.
Teman-temannya mengerti apa maksud Miyata, sehingga mereka segera pamit tanpa suara dan meninggalkan dua orang itu berbicara.
“Meskipun sulit, maukah kamu tetap berusaha melepaskan rantai yang mengikat kakimu? Terbanglah menuju langit. Bahkan jika bukan aku yang membawamu terbang, aku akan tetap bersyukur!” Miyata menatap Tama dalam-dalam.
Tama diam. Dan hingga waktu berlalu perlahan, kediaman antara keduanya masih terus berlangsung.
***
Toko bunga itu hampir tutup ketika Tama masuk dengan tergesa-gesa. Wajahnya terasa lembab karena udara dingin sementara dadanya panas karena bimbang.
Tama merasa mulai menyukai Miyata tapi jika ia berusaha sedikit lebih jauh lagi, Miyata pasti akan habis. Tapi jika ia memilih tetap menjadi burung dalam sangkar, entah berapa hari lagi ia bisa menahan diri untuk tidak mengiris nadinya sendiri.
“Maaf, kami sudah akan tutup!” Seorang pegawai menyapa dengan ramah.
Tama menunjukkan raut kecewanya.
Ia merasa perlu menghirup harum bunga-bunga itu untuk menenangkan hati dan fikirannya. Keputusan yang akan diambilnya, ia tidak tau apakah itu benar atau salah. Setidaknya, Tama tidak ingin menyesal terlalu dalam.
“Tapi, jika Anda sedang gelisah, duduk saja dulu. Bunga-bunga akan membuat Anda sedikit lebih nyaman!” Pegawai itu tersenyum lagi, lalu menunjukkan kursi-kursi yang mengelilingi meja.
Tama membungkuk sebagai rasa terimakasihnya sebelum duduk.
Di meja, berserakan beberapa bunga yang Tama nyaris tidak mengenali apa namanya. Tapi ada beberapa bunga yang familiar seperti mawar dan bunga matahari.
“Masalah Anda pasti begitu berat. Tapi, seperti kaktus itu, meskipun mereka harus dipanggang matahari dan hidup seorang diri, mereka tetap bertahan hidup. Akar mereka mencari jauh ke bawah, dan mereka menemukannya!” Pegawai yang lain menyodorkan secangkir teh tanpa Tama minta.
Tama memandang kedua pegawai itu. Masih tetap ramah padanya meskipun sambil membereskan toko.
“Maaf. Aku, ingin bunga yang membuatku merasa tenang!” Tama mencoba tersenyum.
***
Sarapan berjalan hampa seperti biasanya.
Tama menghela nafasnya berkali-kali dan hanya bermain dengan sendok dan garpunya.
“Apa pun yang kamu inginkan, kami tetap lebih tau apa yang terbaik untukmu Tama! Tempatmu, tujuanmu, alasanmu, kami akan mengaturnya. Dengan siapa, kapan dan dimana kamu berteman atau menikah. Apa dan seperti apa yang harus kamu lakukan. Semuanya, kami telah menyiapkannya untukmu dan kamu cukup mematuhinya!” Ayahnya berbicara dengan nada datar.
Gaya yang duduk berhadapan dengannya menyelesaikan sarapannya, lantas hanya bersantai menikmati kopi paginya.
Tama menahan tangan, kaki dan hatinya. Bibirnya terkatub, mencoba agar tidak mengatakan sepatah kata pun.
Tama mengambil nafas panjang sebelum meletakkan sendok dan garpunya.
Entah. Rasanya Tama ingin mengambil semua beban yang menumpuk di hatinya dan membakarnya, menjadikannya pupuk untuk bunga-bunga.
“Bagaimana pun, kamu tidak akan bisa mengubah keputusan kami. Kamu akan menikah dengan Hikaru. Pendapatmu tidak akan menjadi pertimbangan apa pun, karena kamu tidak tau apa-apa. Bahkan tentang dirimu sendiri!” Gaya menutup acara sarapan itu dengan menyodorkan sebentuk undangan padanya.
Tama merasakan tangan halus ibunya menepuk-nepuk pahanya yang berlapis jeans.
Tidak akan ada ucapannya yang didengarkan kali ini. Bahkan jika Tama berharap menjad kaktus yang tumbuh di tanah berpasir tandus, menjadi kuat hingga sanggup menanamkan akarnya jauh ke dalam bumi, Tama bisa melihat bahwa cermin menunjukkan bahwa dirinya adalah sekuntum anggrek.
***
Tama tersenyum ketika pegawai yang semalam berbicara padanya, bahkan tiba-tiba membuat Tama menjadi pendongeng yang mengisahkan seluruh keluh kesahnya, berdri di bagian kasir, melayani seorang pelanggan yang sedang membayar sebuket bunga.
Deretan pot mungil berisi kaktus berjajar rapi membentuk piramida. Duri-duri halus menyamarkan warna hijaunya menjadi keputih-putihan. Tama menyentuh salah satu yang di tengah dan duri-duri itu berhasil melukai jarinya, sebagian bahkan masih menancap ketika Tama menarik tangannya.
“Seharusnya Anda tidak melukai diri Anda sendiri!” Pegawai yang semula menjadi kasir itu menarik tangan Tama, mencabut beberapa duri halus yang masih menempel dengan pinset.
“Maaf. Saya memang sedikit bodoh!” Tama tersenyum canggung.
“Bukan. Maksud saya adalah karena Anda tidak membaca petunjuk yang diberikan, sehingga Anda melukai diri Anda sendiri. Apa pun itu, ketika ada petunjuk yang melarang Anda untuk melakukan sesuatu, maka Anda harus memperhatikannya meskipun kelihatannya tidak akan merugikan jika Anda tetap melakukannya!” Pegawai itu melanjutkan sambil mengelosi jari-jari Tama dengan sesuatu. Sejenis gel yang terasa dingin.
Tama membungkuk sedikit ketika pegawai itu selesai membantunya.
“Kali ini, apa yang Anda inginkan?” Tanya pegawai itu.
“Ah, sebuket bunga apa pun untuk seorang teman yang sedang sakit. Dan beberapa kaktus untuk saya rawat di rumah!”
“Mohon tunggu sebentar!” Pegawai itu berlalu sesaat, meminta seorang pegawai yang lain menyusun buket bunga untuk Tama sementara dia sendiri menyiapkan beberapa kaktus.
Dalam beberapa menit, Tama mendapatkan sebuket lily dan paper bag dengan kotak-kotak kecil berisi kaktus.
“Semoga teman Anda cepat sembuh! Dan kaktus itu, meskipun kelihatannya mudah di pelihara, tapi ketika ia tidak berada di tempat an kondisi yang tepat untuknya, dia juga akan ati dengan mudah!”
***
Miyata baru saja menyelesaikan pemeriksaannya ketika Tama sampai. Tanpa permisi, Tama mengganti bunga dalam vas.
Tama tidak memperlihatkan senyumnya. Hanya wajah yang seperti biasanya. Terkadang ia nampak sedang berfikir. Tapi mengelak ketika Miyata mencoba mencari tahu.
Hari berikutnya pun begitu. Tama dan datang saat istirahat siang. Miyata sudah membaik, bahkan akan pulang besok. Tama hanya mengobrol seenaknya dan mengajak Miyata berkeliling di taman rumah sakit. Selain itu tidak ada.
Tama terlihat sudah mulai mengontrol dirinya sendiri. Tidak ada kata dalam otaknya yang mampu Miyata tarik keluar.
Hingga saat Miyata keluar dari rumah sakit dan Tama menjemputnya.
“Kamu pasti bertanya-tanya. Apakah aku harus menjawabnya?”Tama menyodorkan ice cream ke hadapan Miyata.
“Hm. Aku bertanya-tanya memang. Tapi kamu tidak harus menjawabnya kok. Ada banyak hal yang tidak bisa kita ungkapkan!” Miyata meletakkan tangannya di atas kepala Tama, mengelus rambutnya.
Tama tersenyum, membuat Miyata tersentak. Tama benci jika ada yang mengusik rambutnya, tapi kali ini Tama hanya menerimanya. Dan lagi, senyumannya itu, begitu manis.
Semilir angin yang datang dari arah utara, Tama memejamkan matanya dan membiarkan angin merasuki hatinya. Aroma bunga-bunga dari toko bunga di seberang jalan, persis di depan taman ini, tempatnya beberapa hari ini menepi dan meresapi arti hidup dari bunga-bunga itu, menyebar hingga menenangkan hatinya.
Tama takut. Benar. Gelisah. Iya.
Rasanya ingin meninggalkan tempatnya berpijak, mencuri sayap burung-burung dan terbang ke langit. Tapi Tama tau ada yang mungkin dan tidak mungkin dalam kehidupan. Ada hal-hal yang bisa saja dilakukannya, tapi dengan konsekuensi yang mungkin tidak akan sanggup dipikulnya.
Melihat orang yang mulai ia cintai tersakiti, melihat kecemasan ibunya, melihat kekecewaan gaya, melihat bagaimana jika nanti ayahnya malu, melihat bagaimana jika Hikaru marah. Terlalu banyak hal yang harus dipikulnya untuk satu alasan yang sama.
Ketika mencoba memberontak, Tama hanya ingin melihat seberapa jauh dirinya bisa berjalan. Tapi ternyata ia menemukan persimpangan dan kebingungan.
Dalam kehidupan bunga-bunga, mereka mekar bukan untuk dirinya sendiri. Nektar untuk lebah, akar bukan hanya untuk mencari air, tapi juga menyimpannya, memupuk tanah, memperindah taman. Bersinergi dengan kupu-kupu dan burung-burung, mereka memilih untuk mekar dengan begitu cantiknya.
Bahkan ketika kaktus hidup di gurun, mereka juga berdiri kokoh untuk orang-orang yang kehausan. Memindahkan mereka ke tempat yang lebih banyak air, mungkin sekian waktu akan membuat mereka terlihat lebih mudah untuk tumbuh, nyatanya mereka akan mati dan membusuk.
Gaya mencoba melindunginya selama hidupnya. Tugasnya sebagai kakak. Ayah dan ibunya, mencemaskan masa depannya, mencoba menemukan tempat terbaik untuknya. Meskipun itu mengurungnya, Tama juga bisa melihat mata mereka yang memandang kepadanya.
Kehidupan yang baik ketika mereka tidak lagi di sampingnya. Mencarikan orang yang tepat untuk melanjutkan tugas mereka.
Sebenarnya, Tama mulai mengerti.
Tama tersenyum sekali lagi, membuka matanya dan menemukan Miyata menatapnya terpesona.
“Tatap aku sesukamu, tapi jangan menggenggam tanganku!” Tama meraih tangan Miyata yang mengelus rambutnya, lalu meletakkannya di bangku taman.
“Kenapa?” Miyata mencoba menggerakkan tangannya untuk kembali menyentuh Tama, tapi Tama menolaknya.
“Karena itu tugas orang lain!” Tama menjawab sambil memalingkan wajahnya.
Miyata menarik tangannya kembali, tersenyum pahit. Ia sudah mengerti sekarang.
“Terimakasih banyak. Aku melihat banyak hal denganmu. Tapi bagaimana pun aku tidak bisa bertahan hanya dengan kakiku sendiri. Aku akan menikah bulan depan!” Tama kembali menoleh, membiarkan Miyata melihat wajah penuh airmatanya kali ini saja.
Miyata tersenyum. Masih getir.
“Apa pun. Jika itu keputusanmu sendiri, aku akan mendukungmu. Aku tau aku tidak akan bisa membawa seekor lumba-lumba berlarian di jalanan. Tapi jika dia sendiri yang memilih untuk tinggal di kolam dan bukan lautan, aku akan datang untuk melihatnya bahagia!”
***
Tama meletakkan pot kecil berisi kaktus itu di meja yang menghadap jendela kamarnya. Hari ini cerah dengan angin yang sejuk.
Di langit, beberapa ekor burung mengepakkan sayapnya. Terlihat kecil, tapi Tama melihat perjuangan mereka. Saling menjaga. Jika sang anak keluar dari barisan, maka keluarganya tidak akan bisa menjaganya lagi.
“Tama, ayo!” Gaya menariknya keluar.
Tama hanya mengikuti, sebelum kembali menoleh dan melihat rangkaian bunga matahari kiriman Miyata. Dia belum mampu datang di hari pernikahannya, dan Tama mengerti. Tidak ada yang mudah di antara mereka berdua.
Hingga Tama melangkahkan kakinya keluar dari pintu, dan kenangan di belakang sana harus ditinggalkannya. Masa lalu, seindah apa pun dia, tetap bukan lagi miliknya.
-END-

KOMENTAR sosmed

Saya tersinggung? Enggak! Tapi kalau kaget iya. Kecewa sih, disebut muna *munafik* siapa yang nggak syok. Saya berfikir karena beliau lebih tua dari saya kan berarti sudah lebih dewasa. Tapi well, benar memang, kita pasti menjadi tua, tapi belum tentu jadi dewasa TT_TT.

Sebenarnya ada apa? Saya cuma curhat.

Kemarin, karena sebuah kasus yang menimpa seorang idol yag saya suka juga, saya ngasih coment di salah satu sosmed. Sepertinya, komentar saya tidak diterjemahkan seperti yang saya maksudkan. Saya tidak menyalahkan idolnya kok, tapi saya memberi pendapat kalau wajar ketika orang menganggap buruk seorang idol karena sebuah skandal. Terlepas dari apakah skandal itu benar atau cuma rekayasa atau apalah itu, kan kita tidak tau.

Tapi ... saya belajar satu hal juga. Harus sabar. Tidak semua orang berfikir seperti saya, karena itu harus berbahasa dengan hati-hati. Sekarang jadinya saya memilih menjauh saja. Masih syok sih. Saya suka mas idol di idol grub itu, suaranya bagus dan bla-bla-bla yang lain, tapi karena fansunya, saya sedikit bagaimana yaa ...

Harus menata hati dulu.

Saya mengerti, mungkin bahasa saya sulit difahami kali ya TT_TT sampai sedih banget, sementara jadi ngungsi dulu ke fandom lain ... rasanya jadi tidak enak. Bagi saya sih, membuat orang lain marah itu rasanya nggak enak banget, apalagi kalau kita udah berusaha minta maaf tapi nggak dimaafin juga. Kan sedih sekali.

Saya nahan diri banget buat nggak curhat, ini kan masalah pertama saya di sosmed plus fg-an, jadi saya ingin melihat sejauh mana saya bisa tetap baik-baik saja. Tapi sepertinya sulit.

Saya bertanya kepada kakak saya, meminta saran, dia mengatakan kepada saya bahwa itu wajar. Bukan berarti 'beliau itu' yang salah, atau saya yang salah, tapi bagaimana kita bersikap lebih bijak. Tidak ada keburukan untuk meminta maaf terlebih dahulu meskipun kita merasa tidak salah. Belajar untuk mengoreksi diri sendiri, bukan orang lain. Mungkin beliau menggunakan kata-kata kasar untuk menanggapi saya, tapi mungkin juga itu untuk mengingatkan saya, supaya saya tidak menggunakan bahasa yang 'berbahaya' atau 'menyinggung' untuk selanjutnya.

Saya menyadari itu. Kesalahan saya adalah cara saya dalam menggungkapkan pendapat saya yang membuat beliau tersnggung, untuk itu saya minta maaf. Dan saya juga berterimakasih, dengan mengingatkan saya, maka untuk kedepannya saya bisa lebih dewasa.

Beliau juga, dengan bersikap seperti itu dan membuat saya meneteskan airmata, mengajarkan kepada saya untuk menanggapi komentar oranglain dengan lebih bijak, mungkin dia tidak bermaksud, tetapi saya yang tidak bisa menerjemahkan apa yang dia maksud. Sehingga saya tidak akan menanggapi dengan kasar dan membuat dia sakit hati.

PENTING!

Bagaimana pun, kita tidak bisa memaksa orang lain berpendapat sama jika cara berfikirnya saja sudah berbeda.

Kamis, 01 Januari 2015

Rain and Sun Flower



Rain and Sun Flower.

*Impian-impian di sebuah toko bunga*
> Bagian yang satu tidak berhubungan dengan bagian yang lain. Dengan kata lain, cerita di setiap bagian tidak berhubungan dengan bagian yang lainnya <

I *Aran* (Abe Aran, Morita Myuto, Miyachika Kaito, Shimekake Ryuya, Travis Japan*Johnny’s Jr*)




Ini seperti aku tidak pernah memahamimu. Ini seperti aku tidak pernah mendengar suaramu. Ini seperti aku tidak pernah bertemu denganmu. Ini seperti aku tidak pernah melihatmu. Ini seperti aku tidak pernah mengenalmu.

Ini, seperti aku tidak pernah jatuh cinta padamu.

...

Ada waktu dimana aku ingin sendiri. Benar.

Dan aku akan menyingkir dari kehidupan di sekitarku. Mencari duniaku sendiri. Mencari tempat untuk menikmati nafasku sendiri.

Tapi aku kesepian pada akhirnya.

Ada waktu dimana aku butuh sendiri.

Lalu aku akan menemukan diriku berada di tempat lain di antara orang-orang. Bahkan etika mereka berbicara atau berlalu-lalang di sekitarku. Gedung-gedung yang menjulang, ketika aku melihat ke atas, langit nampak kecil sebatas lingkaran di atas kepalaku.

Aku tidak kesepian saat itu.

Tapi aku merasa hidupku sesak. Begitu sempit dan terbatas. Kosong. Hambar. Hari-hari yang sama dengan warna dan cerita yang sama.

Aku tidak bisa menangisi apa pun yang telah menjadi keputusanku.

Ya. Semua airmataku telah kugunakan untuk menangisimu berbulan-bulan. Hingga mengering. Kini aku butuh entah berapa lama untuk mengumpulkan keberanianku, keberanian untuk menangis. Menggambarkan apa yang ada dalam hatiku.

Tangis anak-anak yang jujur. Tangis seperti itu, tangis berharga yang tidak pernah kumengerti.

Langit mendung dan awan gelap bergerak seolah akan menelan puncak-puncak gedung. Nyala lampu menjadi temaram begitu hujan deras menghasilkan kumpulan kabut.

Bulan ke tiga puluh satu dan aku masih menghilang di antara orang-orang. Transparan.

Mereka lewat seperti kupu-kupu meninggalkan kepompong.

Sementara aku hanya penonton musiman.

Baliho di perempatan tertelan hujan. Aku nyaris tidak bisa melihatnya lagi. Lampu merah-kuning dan hijau berkedip bergantian, menunjukkan nyawa kota yang mati suri ketika hujan selebat ini turun tanpa peringatan.
Mungkin ini mendekati badai.

Angin kencang menggoyangkan pohon-pohon sementara bunga-bunga di tepi jalan bertumbangan. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri mereka meskipun ini belum benar-benar sebuha badai.

Emperen toko bunga tempatku bekerja semakin ramai dengan orang-orang yang sekedar berteduh. Beberapa memilih memasuki toko dan melihat-lihat.

Aku sama sekali tidak merasa ramai.

Seorang pelanggan setia datang tepat pukul empat seperti biasanya. Dalam tiga bulan ini, setiap hari dia akan datang tepat pukul empat, membeli sebuket mawar merah untuk hari senin, bunga matahari pada hari selasa, lily putih pada hari rabu, tulip pada hari kamis, mawar putih pada hari jumat, krissan pada hari sabtu, dan bahkan ketika hari minggu toko libur, dia memesan dandelion.

Aku yang biasanya bekerja dari jam tiga hingga toko tutup pada jam sepuluh malam hampir selalu menemukannya ada di toko ini.

Dan hari ini wajahnya sangat cerah.

“Anda sedang bahagia, Kawashima san?” Miyachika yang hari ini bertugas sebagai kasir tersenyum ramah dan sedikit berbincang dengannya.

Sementara aku berdiri tidak jauh, hanya semeteran dari mereka, merangkai bunga pesanan pelanggan yang lain.

Kulihat dari cermin di depanku, Kawashima Noel, laki-laki itu, tersenyum secerah seratus ribu watt, membuatku silau. Bunga mawar putih yang didekapnya menguarkan bau harum. Aku yang merangkainya.

“Benar, aku akan menikah minggu depan. Ah, kalian harus datang. Itu pada hari minggu jadi kalian pasti sedang libur kan?” Jawabnya penuh semangat.

Ah, menikah rupanya.

“Benrakah? Omedetou! Anda pasti bahagia sekali!” Miyachika menunjukkan ekspresi bahagianya. Karyawan lain pun begitu. Bersiul riuh.

“Ah, jadi, bisakah .... yah, meskipun mendadak, aku butuh buket mawar putih, juga cukup banyak bunga untuk mendekorasi pesta kami ....?”

Dan obrolannya berlanjut hingga entah kemana, aku memilih melayani pelanggan lain.

Hujan berubah menjadi gerimis setelah hampir dua setengah jam. Dan setelah satu jam lewat, gerimis masih menguasai kota.

Miyachika menyodorkan secangkir coklat panas padaku. Di jam istirahat, menyenangkan menikmati suasana dingin bekas hujan dengan secangkir coklat panas. Itu seperti menamparku untuk melihat sekeliling dan menemukan penggantiu.

Kamu tidak akan keberatan kan?

Kawashima Noel itu, dia akan menikah dan nampaknya dia bahagia. Aku juga ingin bahagia. Seperti ketika kamu membawaku berkencan seharian hingga malam yang dingin, mengajakku menikah di atas perahu saat kita menikmati langit malam di teengah danau.

Ingat? Kamu sampai menceburkan dirimu saat aku mengatakan aku akan menikah denganmu.

Tapi waktu berlalu dan hanya dingin yang kita temui.

Seorang laki-laki masuk dengan tubuh nyaris basah. Miyachika yang sedang menikmati suapan terakhirnya berniat menyambut, tapi aku memintanya menyelesaikan makan malamnya.

“Selamat datang, apakah Anda baik-baik saja?” Tanyaku berusaha seramah mungkin.

Wajahnya suram.

“Tidak!” Jawabnya.

Aku meraih setangkai lily dari vas, menyodorkan padanya.

“Ini akan membuat tidur Anda nyaman. Semoga besok pagi perasaan Anda menjadi lebih baik!”Ucapku.

Dia ragu, tapi menerimanya dengan tangan gemetaran.

Dia .... seperti aku beberapa bulan lalu. Saat aku kehilanganmu.

Tidak tau harus bagaimana.

Sekali lagi. Kuberikan setangkai bunga matahari yang belum sepenuhnya mekar kepadanya.

“Ini. Orang yang Anda sayangi, meskipun tidak bersama Anda sekarang, akan menerangi Anda sehingga Anda tidak merasa sendirian. Bunga ini hanya setangkai, tapi dia memberikan banyak biji. Itu akan memberikan kebahagiaan yang cerah di musim berikutnya!”

Entah bagaimana ... matanya membuatku ingin mengulurkan tanganku.

Dia tersenyum. Sedih.

“Terimakasih. Ah, dan ... aku tadi kesini untuk sebuket  krissan putih dengan beberapa mawar merah muda!”

***

Pagi lainnya datang dan aku begitu ingin mengetahui kabarnya. Sejak malam itu dia tidak pernah datang lagi.
Tapi kenapa aku seolah merindukannya.

Merindukan matanya.

Merindukan wajahnya.

Merindukan suaranya.

Ini ... seperti aku tidak pernah memiliki ingatan tentangmu.

Ini ... seperti aku tidak pernah menangisimu.

Kenapa?

“Haaaaaahhhh .... ini seperti benar-benar sebuah kesia-siaan! Aku mengharapkannya sepanjang tahun tapi dia tidak pernah melihatku!” Miyachika sedang curhat.

Hanya ada kami berdua hari ini. Shime sedang pergi mengantar pesanan sementara Kaji izin sakit.

“Lalu lihatlah sekelilingmu, pasti ada orang lain kan?” Jawabku.

Akhir-akhir ini aku mulai membuka diri.

Iya, seperti aku tidak pernah hampir melompat dari atap untuk menyusulmu.

“Apanya? Yang ada di sekelilingku cuma kamu Aran!” Jawabnya mulai jutek.

Biasa. Setiap kali patah hati.

Shime datang sebelum kami sempat adu mulut. Wajahnya kesal. Jelas sekali.

“Kenapa?” Miyachika sepertinya mulai lupa lagi kalau sedang patah hati.

“Haaahhhh .... pelanggan satu ini benar-benar gila! Bayangkan sudah sebulan ini aku harus mengantarkan bunga pesanannya!” Ocehnya kesal.

“Bukannya itu wajar?” Aku ikut bertanya sambil menata beberapa bunga matahari.

“Itu wajar kalau aku mengantarkannya untuk orang hidup. Masalahnya dia mengirimnya pada orang yang sudah mati!”

Deg.

Jawaban Shime membuat tanganku berhenti bekerja.

“Aran, besok, kamu saja yang antar ya!” Mintanya.

Dan seperti itulah ceritanya. Sekarang aku berdiri di depan sebuah nisan. Ada tumpukan bunga di sana. Yah, itu yang dantar Shime kemarin, kemarinnya, dan kemarinnya lagi.

Aku mengatupkan kedua tanganku.

Orang ini pasti sangat berharga. Orang yang mencintanya selalu mengirimkan bunga meskipun ia sudah tidak ada.

Hei. Aku merasa seakan langit di atas kepalaku menjadi sangat luas. Seperti aku telah menemukan kembali jalan keluar.

Seolah aku tidak pernah menggenggam tanganmu di saat terakhir.

Kuletakkan buket bunga matahari itu.

“Semoga kamu senang. Ini dari oarng yang mencintaimu. Sinari hatinya dan bantu dia agar tidak merasa kesepian!” Ucapku seorang diri.

Aku berbalik, dan saat itu kutemukan dia, pelanggan di malam gerimis itu berdiri menatapku. Di tangannya, kotak berisi kue.

“Ah, kamu yang waktu itu ya?” Tanyanya.

Aku mengangguk.

Ah. Dia terlihat lebih baik.

“Terimakasih banyak, aku benar-benra bisa tidur malam itu dan perasaanku membaik besoknya!” Ucapnya 
sambil meetakkan kotak kue itu, membukanya, lalu menyalakan lilin di atasnya.

“Duduklah, ayo merayakan ulang tahun bersama!” Lanjutnya.

Aku menurut, berjongkok di sampingnya, menghadap ke nisan.

“Hei sayang, hari ini cerah seperti bunga matahari. Apakah kamu suka bunga-bunga yang aku kirimkan? Kamu berusia dua puluh tahun hari ini. Waahhh ... cepat sekali ya, sudah tiga bulan aku tidak bisa melihatmu. Tapi jangan takut, aku akan tetap mengingatmu!” Ucapnya di depan nisan itu.

Aku menatapnya sendu. Airmataku menetes.

“Ini hari terakhir aku mengirimkan bunga untukmu. Aku tidak mau lebih lama mengganggumu dengan kesedihanku. Aku akan baik-baik saja jadi kamu tidak perlu mencemaskanku lagi. Selamat ulang tahun!” Lanjutnya lalu meniup lilin itu.

 Aku merasakan sesak di dadaku.

Ah, dia memperlihatkan langit yang luas padaku. Caranya melepaskan orang yang dicintainya membuatku sadar betapa bodohnya au yang hanya bisa menagisimu.

***

“Jadi, seharusnya kalian hidup bahagia seperti dalam dongeng!” Aku tersenyum memandangnya.

Dia menungguiku yang menangis hampir sejam lalu kami saling bercerita.

“Iya, seharusnya. Aku seperti seekor kodok yang berubah menjadi pangeran. Menemukan putri yang cantik  dan kami saling jatuh cinta lalu menikah. Seharusnya seperti itu ya!” Celotehnya.

Aku mengangguk.

“Hm, aku juga. Cinderella akhirnya bertemu pangeran, menikah dan hidup bahagian selamanya. Tapi dia meninggalkanku selamanya. Apakah terdengar menyedihkan?” Sahutku.

“Iya. Setidaknya aku sudah pernah menikahi sang putri ya? Aku lebih beruntung?” Dia bercanda saat matanya memerah menahan tangis.

Aku mencoba tertawa meskipun airmataku tumah lagi.

“Hei Myuto, ayo berbagi kisah lagi!” Kataku kemudian.

Dia; Myuto mengangguk.

Lalu kami berbagi lebih banyak kisah. Di depan nisan dengan hiasan bunga matahari, seolah orang-orang yang kami cintai duduk dan bercerita bersama kami.

Mungkin, di hari lain entah kapan, kami akan bercerita tentang kisah kami sendiri.

*END*

31 Desember 2014
03:05

Yang datang dalam hujan, secerah harapan di hari esok. Terimakasih telah menceritakan kisah bunga matahari.