Rabu, 26 Februari 2014

Tamamori Yuta

Saya kena karma !!! Belum bisa baca? KARMA.

Dari hampir semua groupnya mbah Johnny, Kiss my ft 2 alias mas-mas kisumai adalah yang saya paling ogah. Tapi apa yang terjadi sekarang? Saya keracunan Tama-chan. #Loe kenapa cantik ganteng unyu imut amat sih Tama *Dicuekin Tama > Nangis

En then, saya baca fanficnya MiyaTama. Yang bener aja #Masih kondisi syok

OK! Saya sedang tidak waras.

Diamond part 1

 Cast : Seinegt saya deh (-__-") yang pasti ini Yabunoo, fumaken, yamaChii, etc.
Warning : Yaoi with rate M

Suatu masa, sebuah dunia yang tidak bisa diceritakan dengan kata-kata.

Dunia yang magis, dengan kerajaan-kerajaan superior yang berperang memperebutkan kerajaan yang lebih lemah, atau bersekutu untuk menghancurkan yang lain. Dan dalam setiap perjanjian, selalu ada yang menjadi imbalan, entah sebuah umpan atau sesuatu untuk ditumbalkan.

Dan seperti hal  yang wajar ketika barisan pasukan melintasi jalanan kota bergelar ‘the light’ itu. Kota berpenampilan indah yang dibangun ratusan tahun dengan darah-darah dan berbagai pengorbanan. Istana yang berdiri kokoh berwarna biru terang, campuran safir, torquis dan topaz. Tahta berhiaskan ruby, berlian dan mutiara. Mahkota zamrud dan kristal-kristal yang bening. Kota dengan jalan bersih dan lampu-lampu artistik dan rumah-ruah penduduk yang berdiri rapi. Jembatan kokoh melengkung menyeberangi sungai dan danau. Negara yang cantik dengan hutan-hutan penuh bunga, sungai berair jernih, ratusan air terjun yang indah, juga gunung dan danau yang cantik.

Negara yang indah dengan kekuatan militer luar biasa kuat. Ratusan kerajaan kecil takhluk dalam lima tahun ini. Raja yang telah berkuasa selama dua puluh lima tahun mengirimkan para pangeran untuk memimpin pasukan dan menguasai wilayah lain. Menemukan wilayah baru, menguasainya, juga tawanan-tawanan dan budak-budak untuk melengkapi kerajaan. Sebuah wajah lain di balik kerajaan raksasa yang indah.

Raja dan keluarganya tinggal di istana utama. Ribuan pengawal berjaga setiap harinya, puluhan ribu pelayan dan dayang-dayang menyiapkan semua kebutuhan istana. Pemain musik dan juga penari menjadi hiburan setiap hari. Raja yang dikenal sebagai seorang jenius, juga panglima yang sangat kuat mendatangkan bunga-bunga, buah-buahan segar, juga perhiasan-perhiasan dan kain-kain yang cantik untuk permaisuri dan para selirnya.

Jun. Raja kerajaan Timur telah memiliki permaisuri saat berusia lima tahun. Nino, permaisurinya terkenal sangat cerdik dengan wajah yang sangat manis, tapi sebagai permaisuri, Nino memiliki racun yang sangat mematikan: kata-katanya. Selain permaisuri, ratusan selir juga hidup di istana. Anak-anak raja dari negara yang ditakhlukkan atau sejenis ‘pajak’ perjanjian dengan negara sekutu.

Dan pasukan yang baru saja kembali menuju istana adalah sepersepuluh  dari total pasukan milik salah satu pangeran. Putra raja Jun dari selir kesayangannya yang dipanggil Kame, Kouta. Kabar takhluknya kerajaan FullMoon yang telah diimpi-impikan oleh raja Jun akhirnya terlaksana setelah Kouta meminpin pasukan menyerang FullMoon yang telah dikepung dan diserang habis-habisan selama lima tahun.

Jun dan Nino menyambut kedatangan putranya dengan wajah sumpringah. Keberhasilan Kouta bukan hanya menakhlukkan kerajaan yang penuh dengan batu mulia, tapi juga berhasil membuat kerajaan-kerajaan yang lain lebih berhati-hati pada kerajaan mereka.

“Luar biasa, setelah lima tahun kita menggempur mereka, akhirnya kita menguasai FullMoon!” Nino menepuk bahu Kouta yang sudah dibesarkannya semenjak kecil.

Kouta hanya tersenyum bangga.

“Ayah, sebagai hadiah untuk keberhasilanku, bisakah tawanan dari istana FulMoon menjadi hakku?” Kouta bertanya dengan penih harap pada ayahnya.

Jun hanya tertawa dan mengangguk, menyetujui permintaan Kouta. “Tapi, jangan lupa berbagi dengan saudara-saudaramu!” Nasihatnya sebelum membiarkan Kouta menemui ibu kandungnya, Kame.

***

Kouta yang terlihat seperti monster di medang perang, berubah manja saat berada di bagian bawah istana. Salah satu tempat rahasia yang tertutup dan sangat dilindungi oleh Jun.  Tempat Jun menyimpan Kame, selir kesayangannya yang dimilikinya setelah menakhlukkan kerajaan dimana ayah Kame adalah raja saat itu. Dan raja FullMoon yang sekarang, adalah kekasih Kame yang seharusnya menjuadi suaminya jika Jun tidak menyerang dan membunuh ayah serta saudara-saudara Kame bertahun-tahun lalu karena tertarik padanya.

“Haruskah kamu menjadi panglima?” Kame mengelus rambut putranya, bertanya dengan halus.

“Itu sebuah kehormatan untukku ibu. Kita harus menjadi lebih kuat lagi!”Kouta menjawab dengan serius, membuat Kame enggan untuk bertanya lagi. Fikirannya sudah cukup terbagi, anak pertamanya, Tegoshi dipersiapkan untuk perjanjian persekutuan dengan kerajaan tetangga mereka, sementara anak-anaknya yang lain bergantian pergi ke medan perang atau meminpin penyerangan.

***

Kouta menemui adik-adiknya di aula para pangeran setelah menyerahkan berbagai hadiah untuk kakaknya, Tegoshi. Ini menjadi kebiasaan setelah mereka menakhlukkan sebuah kerajaan. Para pangeran itu menyebutnya sebagai ‘pembagian hasil’.

Pembagian kali ini menjadi begitu istimewa karena yang akan mereka bagi adalah anak-anak raja FullMoon yang sangat terkenal dengan kecantikannya. Dan Kouta tidak memiliki keegoisan yang cukup untuk memiliki mereka sendiri.

“Jadi, dimana bagianku?”Hikaru bertanya penuh semangat.

“Tenang saja, semua akan dibagi rata. Tapi tentunya aku mendapat sedikit lebih banyak!”Kouta hanya tersenyum senang sambil memilah beberapa barang yang terhampar di meja. Tumpukan batu mulia, emas, perak, perhiasan yang cantik, hingga lebih mirip gundukan harta karun.

“Jadi, Kouta nii akan membagi anak-anak raja FullMoon itu juga?” Shori, adik Kouta yang berbeda ibu bertanya penuh antusias.

Kouta hanya menjawabnya dengan anggukan.

“Kalian semua akan mendapatkan bagian yang bagus, jadi sebaiknya carilah hadiah yang bagus juga untuk mereka!” Kouta memberi nasihat-jika bisa disebut nasihat- sambil menunjukkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk kristal es yang terbuat dari batu safir dan ruby yang berkilau. “Seperti hadiah kecil ini misalnya!” Kouta memberikan contoh.

“Kouta nii selalu menemukan barang bagus!”Amu memuji sambil memanyunkan bibirnya. Tapi kemudian segera beranjak mengobrak abrik benda-benda di atas meja untuk mencari sesuatu yang kiranya bagus di matanya. Dan sesuatu itu haruslah “cantik”.

“Apa ini barang yang cukup bagus?” Yuya menunjukkan sebuah kotak segenggaman tangannya yang terbuat dari emas, dengan hiasan kristal warna-warni dan berlian beraneka bentuk. Di dalamnya, sebuah miniatur bunga mawar tersimpan dengan sangat cantik. kelopak bunganya terbuat dari berlian berwarna merah darah, putiknya dari zamrud hijau tua terang, sementara mahkotanya dari moonstone yang berkilauan.

“Itu sangat bagus, sepertinya akan cocok!” Kouta berkomentar sambil mengangguk, lalu matanya kembali berkeliling untuk mencari benda yang lain.

Ryosuke yang tidak begitu mengikuti pembicaraan tersenyum senang setelah menemukan beberapa barang yang menurutnya cantik, lalu dimasukkannya ke dalam kotak kristal bening berukuran sedang. Dimulai dari kotak musik yang terbuat dari batuan mulia jenis aquamarine, hingga perhiasan-perhiasan yang cantik.

“Kouta nii, apakah hadiah untuk kedua ibu kita sudah dikirimkan?” Yuto bertanya pelan setelah mengingat kebiasaan mereka.

“Unn. Sudah. Aku yang mengantarkannya sendiri. Bahkan untuk Tegoshi nii juga. Tinggal kalian saja yang belum kuberi apa-apa!” Kouta tersenyum.

Berbeda dengannya, Yuto adalah putra dari Nino, seperti halnya Shori, Amu, dan juga Fuma yang sepertinya bingung barang apa yang bagus untuk sebuah hadiah.

“Jika sudah selesai, kalian bisa pergi ke kamar kalian masing-masing. Aku sudah mengirimkan hadiah terbaik kalian ke sana!” Kouta mengedipkan sebelah matanya usil pada adik-adiknya sebelum menyambar setangkai mawar bercabang dua yang terbuat dari garnet, zamrud, peridot, dan ameythyst.

***

Fuma baru sadar bahwa dirinya adalah satu-satunya yang belum berhasil menemukan satu hadiah pun setelah semua saudaranya berhamburan ke kamar mereka masing-masing. Dan tidak mungkin meminta pendapat dari mereka disaat seperti ini.

“Jadi apa yang harus aku berikan?” Fuma bertanya entah kepada siapa, tapi kemudian senyumnya terkembang saat matanya menangkap sebuah kilauan yang menurutnya sangat cantik.

Ditariknya benda itu dari ‘reruntuhan’ yang dibuat saudara-saudaranya. Sebuah kalung yang lebih sederhana dari yang lainnya. Terbuat dari emas putih yang dihiasi batu mulia dengan jenis dan warna berbeda di setiap rantai kecilnya, dengan liontin zamrud berbentuk setetes air yang dibingkai emas putih juga.

Fuma memasukkan kalung itu ke sakunya, kemudian mengambil sebuah botol kecil kristal biru bening. Tapi tidak seperti saudaranya yang langsung menuju ke kamar, Fuma justru berjalan ke arah lain. Baru setelah itu, Fuma kembali ke kamarnya, dengan botol kristal itu terisi dengan sebuah cairan berwarna ungu pekat.

 Para penjaga membungkuk hormat saat Fuma datang. Tepat sebelum Fuma memasuki kabar, beberapa dayang keluar dari kamarnya. Mereka semua mengangguk seolah mengerti apa yang akan ditanyakan Fuma.
Begitu pintu raksasa berhiasakan amethyst itu terbuka, Fuma bisa melihat seseorang terbaring di ranjangnya.

-etc-

Next : FumaKen

Rabu, 12 Februari 2014

Curhat aja : Temen cowok kakakku cantik baget!!!!

Kemarin itu (ceritanya saya lagi bercerita gitu....) kan habis pergi sama kakak-kakak tercinta saya yang kadang pada nyebelin. Kita pergi keliling-keliling nggak jelas. Kata kakak sih nyari tempat yang asik buat refresing. Saya setuju banget dong, dapat liburan ngratis saat lagi sebel-sebelnya.

Kita berangkatnya hari senin pagi. Anehnya, kan biasanya kakak ke dua saya yang kebagian jadi sopir, eh, ternyata ini nggak. Dia ngilang gitu aja sejam sebelum berangkat, katanya sih ntar ketemu di mana gitu saya lupa. Jadilah kita berempat sibuk saling tunju siapa yang bakalan jadi sopir sukarelawan.

Kakak sulung saya jelas ogah, orang dia aja udah niat nggak ikut. Katanya mending kerja yang bener daripada jalan-jalan nggak jelas tujuannya gitu. Kakak ketiga saya dengan santainya bilang : "Kan lu yang udah kerja beneran, kita sih masih hidup sambil nadahin tangan tanpa sungkan!" Dan kata-kata itu hebatnya saya setujui, hahahaha ^_^.

Setelah berdebat panjang banget, akhirnya kita mutusin kalo kakak tercinta saya, my twin, my honey bunny yang hobby ngambek yang dipaksa buat jadi sopir. Dan dia ho'oh aja daripada jatah uang sakunya dipotong sama kakak.

Well, bukan itu yang mau saya ceritain, tapi temen kakak kedua saya.

Dulu saya pernah ngoceh tentang cowok cantik atau apa lah yang sejenisnya kan, nah, sekarang saya nemuin sesuatu yang baru. Cowok cantik yang ada di depan mata saya!

Jadi, kakak kedua saya itu pergi duluan buat ngejemput temennya. Yah, temen kerja gitulah. Kata my twin, dia itu pinter desain gitu, trus hobby fotografi, jadinya kan kompakan tuh sama kakak saya. Nah, karena kakak kedua saya itu habis putus sama pacarnya, saya kira kan kita mau dikenalin sama calon kakak ipar yang baru, jadi wajar dong kalo saya mikirnya temen kakak saya itu cewek.

Ternyata, waktu kita ketemu di satu daerah yang namanya Tulungagung, saya langsung bilang sama my twin saat lihat kakak saya sama temennya itu.

"Za, si mbaknya cantiknya. Cantikan ini dari pada mbak x (mantan kakak saya), udah gitu tinggi lagi!" Saya bisik-bisik gitu sama my twin.

"Ho-oh, tapi kaya tomboy banget ya Hya. Trus bentuk badannya nggak kaya cewek!" My twin ikutan bisik-bisik.

Ye... itu mah otak dia aja. Pikir saya gitu.

And then, yang bikin saya sama my twin ngesyok, ternyata itu bukan mbak-mbak tapi mas-mas.

Please tamparin saya biar saddddaaaaarrrr!!!!

Udah, sekian cerita liburan nggak bener saya karena nyeret my twin yang harusnya kuliah!

NB:
Ga, kalo suatu saat kamu nemuin blog nista adik cewek kamu satu-satunya ini, jawab saya dengan jujur! Kamu nggak ada apa-apa sama mbah -eh- mas x itu kan? (-__-')

PURPLE FLOWER



-PURPLE FLOWER-

Cast : Hey!Say!BEST

Genre : Angst (Mungkin ?)

Summary: Ketika aku masih memilikimu, aku ragu untuk membawamu berjalan bersamaku. Hingga saatnya kamu meyakini bahwa kamu tidak mungkin bersamaku, dan kamu harus melangkahkan kakimu dalam perjalanan yang lain. Saat itu, aku hanya mampu menjagamu dari jauh. Jika bisa, raihlah tanganku saat kamu akan terjatuh, kali ini, aku pasti akan menggenggam tanganmu lebih erat.

Perjalanan yang menjadi begitu berat
dengan nafas yang sesak
langkah tertatih dengan kaki penuh luka berdarah
kamu berjalan jauh di depan sana
tidak menoleh ke belakang
menyisakan punggung bergetarmu untuk kutatap dari kejauhan
tanganku ini, tidak mungkin sampai padamu
saat butiran bening itu jatuh dari matamu yang teduh.
tidak apa-apa
aku akan baik-baik saja dengan semua luka
tapi kamu,
tetaplah melangkahkan kakimu ke cahaya di depan sana
agar aku bisa melihat terang juga.


Kita tidak akan mungkin bersama.

Aku tau kamu berfikir seperti itu. Meyakininya. Menyakiti dirimu sendiri. Aku tidak pernah apa-apa dengan lukaku, tapi aku akan sangat meresahkan lukamu. Karena kamu adalah indera-inderaku. Aku akan merasakan rasa sakit yang menjalar dalam syarafmu.

Jalan-jalan berlubang menghambat sebuah perjalanan. Dan aku tidak pernah mengerti mengapa kita menjadi seperti ini. Aku tau hidup adalah sebuah pilihan, tapi bukankah kita tidak pernah memilih terlahir seperti ini. 
Haruskah aku menggugat sesuatu yang disebut takdir?

Perjalan kita bukan sehari dua hari. Kisah yang kita tulis bukan hanya selembar dua lembar.

Kita telah bersama lebih dari yang mata-mata itu melihat. Kita telah bersama lebih dari apa yang telinga-telinga itu mampu mendengar. Tangan kita telah bertautan jauh sebelum kita harus melepaskannya.

Tidak pernah sedikit pun aku merasa lelah berjalan bersamamu. Tidak pernah sedikit pun aku merasa bosan saat bersamamu. Mendengarkan suaramu, melihat senyum dan tawamu, menemanimu menangis, menggenggam jemarimu, membisikkan kata-kata manis untukmu, memelukmu. Semua kulakukan dengan sepenuh hatiku.

Aku dan kamu telah menjadi kita semenjak garis takdir mempertemukan untuk kali pertama. Cinta itu memang tidak terlahir dari sapaan pertama, tapi perjalanan waktu menumbuhkannya menjadi pohon raksasa dengan bunga yang berwarna-warni. Akar yang telah menyatu dengan hati, itu semua tidak akan bisa dicabut dengan tangan manusia. Nama yang telah terukir di puncak karang tidak akan udah dihapus oleh angin.

Tapi jalan itu terlalu berliku.

Berat yang membebani hatimu juga ingin kupikul agar kamu bisa berjalan dengan tenang di sampingku. Tapi kamu sama sekali tidak membiarkan dirimu berbagi meski hanya untuk beberapa pons dari berjuta ton yang kamu tanggung.

Di saat kamu terluka, aku ingin menjadi orang yang mampu mengobatinya. Di saat kamu menangis, aku ingin menjadi orang pertama yang menenangkanmu. Aku ingin menjadi tempatmu menyandarkan hatimu.

Tapi kita tidak bisa pergi kemana pun. Terlalu banyak noda-noda hitam yang membuat peta perjalan kita menjadi tidak terbaca. Akan menjadi sangat sulit bagiku untuk membawamu ke jalan dengan akhir yang bahagia.

Senyumanmu itu, aku ingin melihatnya. Tapi jika denganku, yang sangat mungkin adalah air mata yang mengalir di pipimu. Semua itu mengaburkan pandanganku.

Jurang dalam, dinding menjulang, dan samudera api yang membentang di depan sana membuatku tidak mungkin membawamu melangkah bersamaku. Begitu pun yang ada dalam fikiranmu. Jalan buntu, jembatan yang terputus, dan melodi menyayat hati membuatmu tidak mungkin melangkah lebih jauh untuk meraih kembali tanganku yang terpaksa harus kamu lepaskan.

Aku tidak tau bagaimana, tapi aku ingin kamu ada bersamaku. Hanya saja, saat aku sadar bahwa aku yakin bisa membawamu menyeberangi jurang tanpa jembatan itu, kamu sudah tidak lagi menggenggam tanganku.

Bagaimana aku bisa menjadi begitu lemah di saat aku seharusnya menjadi yang paling kuat untuk menjagamu. Melindungimu dari semua tatapan itu, dari semua perkataan itu. Bukankah, tatapan akan berakhir saat mata tertutup, bukankah perkataan akan berlalu seiring jarak yang melemparkannya kepada kehampaan? Aku sama sekali tidak mengerti.

***

Bunga-bunga ungu berguguran dari tangkai-tangkai yang kering
pada angin yang membawanya ke telapak tanganmu
aku berkisah
mendongengkan sepasang tangan yang bertautan dalam tahun-tahun pangjang melelahkan
hingga kita terpaksa harus melepaskannya ...
Biarkan seperti itu,
karena apa pun itu aku tetap menyimpanmu dalam hatiku.

Es berbentuk hati dengan sebutir ceri di dalamnya itu mulai mencair perlahan. Lelahannya menyatu dengan lemon ice yang semakin mendingin, membuat butiran air menjadi corak buram di gelas yang semula bening.

“tidakkah kamu berfikir untuk menemuinya? Mungkin saja dia merindukanmu?” Hikaru memulai perbincangan kami yang mulai kembali membak setelah episode canggung entah berapa lama.

“Tidak apa-apa. Jika aku menemuinya, kami harus memulai semuanya dari awal lagi. Dia dengan luka yang begitu dalam karena kami tidak mungkin bersama, dan aku dengan penyesalan seumur hidupku atas rasa sakit yang ditanggungnya!” Jawabku setelah menyesap sedikit lemon ice dengan sedotan yang dihiasi potongan lemon.

Ah, dulu aku beberapa kali mampir di kafe bernuansa hijau dan kuning ini bersama seseorang yang kini bahkan untuk menyebut namanya pun menjadi begitu menyesakkan.

“Ah, haruskah aku menyeretmu ke sana? Atau aku harus membiarkanmu mati mengenaskan seperti ini?” Hikaru mulai kesal dengan tingkahku.

Tentu. Dia sahabat terbaikku. lebih dari sepuluh tahun bersama. Dia tahu hampir seluruhnya tentangku. Bahkan, aku-Hikaru-dia seringkali bersama sehingga terkadang kami saling cemburu.

Ku pandangi pernak-pernik berbentuk buah-buahan yang menghiasi dinding kafe ini. Hikaru terlihat ingin menyampaikan sesuatu tapi ragu. entah apa, tapi aku bisa membaca itu tentang apa.

“Kou, apakah kamu benar-benar tidak apa-apa?” Hikaru bertanya dengan nada cemas.

Hikaru. Bahkan tanpa kamu harus bertanya, kamu tau bahkan aku sama sekali tidak baik-baik saja. Kamu bahkan bisa melihat luka yang begitu menganga, mengatakan padamu betapa kerasnya aku mencoba untuk baik-baik saja tapi tidak bisa.

Aku menyesal tidak menggenggam tangannya lebih erat. Aku menyesal tidak bisa membuatnya yakin bahwa kami bisa bersama. Aku menyesal membuatnya harus bersama orang lain.

Itu semua membuatnya sakit.

Dan aku sakit juga.

Sangat sakit.

Tanpa sadar aku mulai mengalirkan air mata tanpa bisa bersuara.

“Kou, hari ini Kei menikah!” Hikaru mengela nafasnya setelah mengucapkan kalimat mengerikan itu dengan nafas tertahan.

Aku tau.

Aku tau.

Dia sendiri yang memberi tahuku. Bahkan mengundangku meski dengan air mata yang bercucuran. Tapi aku tidak mungkin berlari ke arahnya di saat dia bersama dengan orang yang menjadi keputusannya setelah kami berpisah.

Karena aku tidak sanggup mempertahankannya yang begitu berharga.

***

Di depan sana itu jalan untuk kita yang penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran
untukmu yang berharga
kulepaskan tautan tangan kita
untukmu berjalan tanpa perasaan resah
bukan untuk melepaskan cintaku padamu.
Tidak apa-apa
biarkan seperti itu
nantinya kamu akan mengerti
kita tidak bisa berada di satu rel yang sama.

Perjalan kita berakhir di persimpangan ini. Sebuah pertigaan dimana kamu harus memilih untuk meninggalkanku demi semua yang mencintaimu.

Jalanmu yang ada setelah ini, adalah jalan yang lebih cemerlang, dengan gemerlapan cahaya dari bintang-bintang paling terang. Dan aku, akan tetap melihatmu dengan sepenuh kekaguman, berlari ke arahmu lebih cepat dari siapa pun saat kamu terjatuh.

Tidak apa-apa. Sungguh. Kita tidak akan apa-apa.

Janji yang terucap dari bibirmu yang bergetar, aku mendengarnya seperti lagu kesedihan yang pernah kita nyanyikan. Tapi setelah ini, kamu tidak akan takut berjalan ke luar sana. Kamu tidak perlu khawatir akan melukai orang-orang yang mencintaimu. Kamu bisa berjalan dengan menegakkan wajahmu, menggenggam tangan dia yang sekarang berada di sampingmu.

Tidak apa-apa. Dia yang sekarang mendampingi perjalanmu akan menjagamu lebih abik dariku. Memberimu tatapan seperti yang hari ini diberikannya padamu. Kalian berdua indah bersama. Ketika nanti kalian berjalan bergandengan tangan, semua akan menatap penuh kekaguman, bukan tatapan penuh kecurigaan saat kita berjalan bersama dengan bergandengan tangan.

“Yabu kun, apakah tidak apa-apa?” Daiki memandangku dengan tatapan mata besar indahnya. Seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa aku baik-baik saja.

Aku hanya tersenyum padanya, lantas kembali memandangmu yang sedang mencoba tersenyum di depan sana.

“Dia akan baik-baik saja!” Yuya menjawab pertanyaan Daiki tanpa melihatku. Entah, maksudnya kamu atau aku yang akan baik-baik saja.

Tidak apa-apa jika seperti ini kan?

Tidak apa-apa jika aku hanya memandang dan menjagamu dari jauh kan, Kei?

Angin yang bergerak mengelus perjalanan kita seolah mengatakan padaku bahwa inilah jembatan yang seharusnya kamu lewati. Jika begitu, maka aku tidak akan apa-apa.

Bersandarlah padaku
genggamlah tangannya
aku akan berjalan ke depan juga
agar ketika nanti senja datang menyapa kita
dengan bunga-bunga ungu yang bertebaran mengelilingi langit
aku bisa menyapamu dengan perasaan lega.

_END_

***

_Aku berjalan pada malam-malam saat purnama
di atas sana, tiba-tiba gerhana memperlihatkan bentuk sabit yang cemerlang
cahayanya mengatakan padaku untuk mengikuti kunang-kunang
menuju sebuah jembatan yang koyak
membentang jauh dari sisiku ke sisimu
lalu aku bertanya pada diriku:
bisakah aku berjalan ke sisimu?
Kamu mengerti isyarat perasaanku
jika aku berjalan ke sisimu, kita akan jatuh bersama-sama ke dasar yang entah seberapa jauhnya
untukmu yang tercinta
tidak apa-apa
sebentar saja aku melepaskan tanganku darimu
kamu yang tercinta akan menemukan hati yang bersih untuk kamu tinggali.
Untuk kamu yang berharga,
tidak apa-apa._


Sebenarnya mau dipost 31 Desember kemarin, tapi berhubung skripsi yang ngejar dari balik pintu  kamar saya, akhirnya baru dipost sekarang.